REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Anggota DPRD NTB Abdul Karim menolak kebijakan Presiden Jokowi yang melarang semua pegawai negeri sipil melakukan kegiatan atau rapat di hotel.
"Kebijakan tersebut akan mematikan hotel yang nantinya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan," kata anggota Abdul Karim di Mataram, belum lama ini.
Di sela kesibukan mengikuti sidang paripurna DPRD NTB yang dipimpin wakil ketua dewan TGH Mahally Fikri, dia menjelaskan, bisa saja pemerintah melarang dinas dan instansi untuk melakukan rapat di hotel, tapi harus dipilah-pilah.
Misalnya, kalau dinas melakukan rapat atau pertemuan tingkat regional apalagi nasional tidak bisa dilakukan di ruang kantor karena jumlah pesertanya ratusan orang bahkan ribuan orang.
Jadi kalau seperti ini bagaimana pun harus dilakukan di hotel yang memiliki fasilitas lengkap dan aula yang bisa menampung hingga seribu orang.
"Kalau hanya rapat dengan peserta puluhan orang tidak perlu di hotel, cukup di kantor dan memang lucu jika rapat dengan peserta sedikit lalu diadakan di hotel," ujarnya.
"Saya mantan birokrat dan terakhir Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Mataram, sehingga tahu benar apa yang harus dilakukan oleh pemerintah di daerah," katanya.
"Pemerintah selalu berkoar untuk menciptakan lapangan kerja sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi kalau hanya hanya rapat dilarang di hotel, malah akan menutup lapangan kerja," ujarnya.
Kebijakan pemerintah yang melarang rapat di hotel tidak hanya ditentang oleh DPRD NTB, tapi juga oleh Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi.
Sebelumnya gubernur mempertanyakan kebijakan pusat yang melarang melakukan rapat-rapat di hotel, malah jika dilaksanakan di kantor akan memakan biaya lebih besar.
"Misalnya sekarang ada rapat regional, peserta menginap di hotel, dan untuk kegiatan dilakukan di kantor, maka butuh lagi biaya kendaraan untuk mengangkut tamu dari hotel ke kantor tempat kegiatan," katanya.