REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memandang langkah menyuntikkan modal pada Bank Mutiara sesuai Undang-undang. Pada Desember 2013 lalu, LPS menyuntikkan dana sebesar Rp 1,25 triliun untuk menambah modal Bank Mutiara.
Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho mengatakan pada saat itu penuntikkan dana dianggap sebagai keputusan terbaik. Pasalnya, saat itu Bank Mutiara masih dalam penanganan LPS. LPS,
kata dia harus memastikan bank tersebut tetap berjalan sesuai ketentuan berbankan yang berlaku. Termasuk ketentuan kecukupan modal. Sesuai ketentuan, kecukupam modal harus mencapai 2-14 persen tergantung profil risiko bank.
"Kebetulan waktu itu otoritas minta Bank Mutiara untuk menaikkan CAR atau modal sesuai ketentuan," ujar Samsu, saat dihubungi, Rabu (3/12).
Menurutnya, jika tidak menambah modal sesuai ketentuan yang berlaku, Bank Mutiara memiliki alternatif harus ditutup. Sementara, penutupan Bank Mutiara membuat kerugian sekitar Rp 6,7 triliun sebagai konsekuensi dana yang harus dibayarkan untuk mengganti dana nasabah.
Alhasil, menurut dia penambahan modal ini dinilai lebih baik dibandingkan menutup bank lantaran bisa menimbulkan kerugian yang lebih besar. Dengan disuntikkan modal, pada saat itu membuat Bank Mutiara bisa tetap hidup hingga akhirnya resmi dijual sahamnya kepada J Trust, perusahaan investasi asal Jepang.
J Trust akhirnya membeli Bank Mutiara dibayar kontan sebesar Rp 4,41 triliun pada (20/11) lalu. Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya dugaan penyelewengan suntikan modal Bank Mutiara. Penambahan modal ini dinilai tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Menurut Ketua BPK Harry Azhar, bank Mutiara tidak menyampaikan posisi kewajiban penyediaan modal minimum.