REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) rumah sakit khusus untuk pendidikan. Pengadaan alkes tersebut berkaitan dengan bidang penyakit infeksi dan pariwisata di Universitas Udayana (Unud), Bali.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, penyidik menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup untuk kemudian disimpulkan ada dugaan terjadi tindak pidana korupsi. Dalam pengadaan alkes tahun anggaran 2009 itu diduga ada permufakatan dan rekayasa terkait proses pengadaan hingga menyebabkan negara mengalami kerugian sekitar Rp 7 miliar.
"Penyidik menetapkan MDM (Made Meregawa) dan MRS (Marisi Matondang) sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi," katanya, Kamis (4/12).
Made Meregawa merupakan Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Unud dalam proyek senilai Rp 16 miliar tersebut. Sementara Marisi Matondang ditetapkan sebagai tersangka selaku Direktur PT Mahkota Negara.
Keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Made pernah diperiksa sebagai saksi untuk kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan bendahara umum Muhammad Nazaruddin, terpidana kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games Palembang. Made adalah PPK proyek Rumah Sakit Pendidikan pada kampus yang berlokasi di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, itu.
Sementara Marisi Matondang merupakan Direktur PT Mahkota Negara. Perusahaan itu disebut-sebut sebagai salah satu perusahaan milik Nazaruddin.
Nama Nazaruddin beserta saudaranya M Nasir disebut-sebut pernah tercatat sebagai pemilik saham dan anggota komisaris CV Mahkota Negara yang berubah nama menjadi PT Mahkota Negara pada Februari 2003. Tetapi, sejak Mei 2009 nama dua bersaudara itu tidak tercantum lagi dalam daftar pemilik saham dan jajaran komisaris.
Proyek Udayana sendiri mulai dikerjakan pada 2009 setelah tendernya dimenangi PT Duta Graha Indah. Perusahaan ini berafiliasi dengan Grup Permai, perusahaan Nazaruddin. Pembangunannya menghabiskan dana pemerintah pusat yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara senilai Rp 600 miliar.