Senin 08 Dec 2014 14:30 WIB

Nostalgia Abah Alwi: Hiburan dan Pesta Rakyat di Ciliwung

Abah Alwi
Foto: Republika
Abah Alwi

REPUBLIKA.CO.ID,

n Oleh Alwi Shahab

Pemda DKI Jakarta dengan berbagai cara berupaya untuk membebaskan banjir di Ibu Kota yang dampaknya semakin parah. Upayanya termasuk membangun terusan dan kanal untuk melebarkan Ciliwung.

Hal yang sama setidaknya pernah dilakukan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen ketika membangun Batavia pada 1619. Ia banyak membuat kanal dan terusan yang membelah-belah Batavia. Caranya dengan memecah dan menyedot Ciliwung, serta sungai-sungai lainnya hingga menjadi puluhan kanal atau terusan.

Dengan membangun banyak kanal, dimaksudkan agar transportasi yang kala itu mengandalkan sungai berjalan lancar. Selain untuk MCK (mandi, cuci, dan kakus) berupa getek-getek untuk keperluan hajat penduduk. Tapi yang tidak kalah penting bagi Belanda adanya kanal dan terusan, sekaligus sebagai pertahanan atau benteng di Kota Batavia yang semasa VOC selalu mendapat ancaman dari luar.

 

Di antara kanal yang masih kita dapati sekarang ini adalah di kali Molenvliet yang diapit Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Kali yang sekarang kotor dan ditimbuni oleh sampah, dahulunya merupakan jalan air yang dilewati oleh rakit-rakit yang selalu berhati-hati untuk tidak mengganggu masyarakat yang sedang ber-MCK.

Menurut peta 1672, Batavia dikelilingi parit dan rawa yang juga banyak dijadikan kanal. Hingga kala itu ada yang menjuluki kota Batavia 'Venesia dari Timur'. Venesia adalah sebuah kota di Italia yang dikelilingi oleh kanal-kanal.

Menurut kisah-kisah, Batavia ketika itu menjadi tempat hiburan di mana para sinyo dan noni Belanda menjadikan kanal sebagai rekreasi air sambil diiringi oleh petikan gitar. Banyak warga Belanda yang membangun rumah di tepi sungai.

Masih menurut kisah-kisah Batavia tempo doeloe, rupanya air sungai Ciliwung masih jernih dan bisa diminum. Seorang pelaut asing menceritakan bahwa ketika mendatangi Batavia dan tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, mereka mengambil air dari Ciliwung.

Di samping tempat hajat orang banyak, Ciliwung 'tempo doeloe' juga menjadi tempat hiburan rakyat. Seperti pesta Pehcun yang dirayakan pada hari keseratus Imlek (tahun baru Cina-red). Pehcun yang juga merupakan pesta perahu paling meriah berlangsung di Jakarta Kota dekat muara Ciliwung.

Di samping itu, Pehcun juga dirayakan di Sungai Cisadane Tangerang, yang dikunjungi juga oleh warga dari Jakarta dan sekitarnya. Begitu meriahnya pesta Pehcundi Cisadane, hingga penyanyi tahun 1970-an pernah menyanyikan lagu berjudul 'Nonton Pehcundi Kali Tangerang'. Meriahnya pesta Pehcunialah karena acara itu disponsori oleh para hartawan Cina.

Ibu saya pernah menceritakan bahwa sekitar tahun 1930-an hingga 1940-an, di antara Kali Kwitang dan Kali Pasir berlangsung pesta Pehcun. Ramainya tidak kalah dengan Pasar Gambir 'tempo doeloe' dan Pekan Raya Jakarta sekarang ini.

Tentu saja sekarang ini tidak mungkin lagi diadakan pesta semacam ini yang dulu pernah menjadi salah satu pesta tahunan di Jakarta. Maklum, sekarang ini Ciliwung dan sungai-sungai di Jakarta sudah mengecil dan berubah fungsi yang tidak bisa lagi dilayari oleh perahu-perahu.

Kalau dalam pesta Pehcun diadakan lomba perahu yang diiringi orkes gambang keromong, ada lagi hiburan meriah yang diselenggarakan oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Yakni, pesta Cap Go Meh di hari ke-15 dari tahun baru Cina (Imlek).

Berlainan dengan Pehcunyang berlangsung di sungai, Cap Go Meh dirayakan di jalan-jalan raya yang ramainya tidak kalah dengan pesta rakyat di Amerika Latin. Dalam pesta Cap Go Meh, keramaian utamanya adalah ngarak Toa Phe Kong keliling jalan raya. Diiringi musik dan barongsai, penontonnya ngibing lebih hot dari tari dangdut. Banyak di antara mereka yang ambruk karena kebanyakan minum barang haram berupa minuman keras.

Pesta yang pernah selama ratusan tahun menghibur Kota Jakarta, kini tinggal kenangan. Pehcun terkendala oleh sungai yang tidak mungkin lagi dilayari perahu. Sedangkan Cap Go Meh sejak tahun 1954 telah dilarang oleh Wali Kota DKI Jakarta Sudiro, bersamaan dengan dilarangnya tanjidor yang ngamen keliling kampung dan kota di kediaman warga Tionghoa.

Menurut Sudiro, cara ngamen semacam ini merendahkan martabat bangsa Indonesia. Padahal, sekarang ini pengamen di Jakarta dan kota-kota lainnya jumlahnya makin bejibun. Pesta Cap Go Meh dengan iringan barongsai telah beberapa kali diadakan, tapi tidak lagi meriah seperti di 'tempo doeloe'.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement