REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi dimintai keterangan terkait penyelidikan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Dia dimintai keterangan dalam proses penyelidikan BLBI," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Rabu.
Laksamana Sukardi yang datang ke KPK sekitar pukul 10.15 WIB tidak berkomentar apa pun mengenai permintaan keterangannya yang kedua kali dalam kasus tersebut. KPK dalam kasus ini juga sudah mencegah Lusiana Yanti Hanafiah dari pihak swasta.
Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Kwik dalam pemeriksaan di kejaksaan, mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan menteri lain. Dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara, namun baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri.
Kejaksaan Agung sudah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap sejumlah debitor BLBI, salah satunya adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia Sjamsul Nursalim pada Juli 2004. Beberapa nama konglomerat papan atas lainnya, seperti The Nin King, dan Bob Hasan, juga sudah mendapatkan SKL dan "release and discharge" dari pemerintah.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan dana BLBI sebesar Rp144,5 triliun yang diberikan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara.
Sedangkan dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun, sebanyak Rp53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.