REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Ketua PBNU KH Slamet Effendy Yusuf mengatakan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) harus menjamin agar upaya melecehkan agama mesti diredam atau dihindari.
Saat ini, menurut dia, ada kecenderungan masyarakat hilang kendali dalam menjaga kesucian agama. “Pihak demikian menganggap, seolah-olah dengan berani menghina ajaran agama, berarti sudah mereka berpikiran maju. Maka inilah guna regulasi negara, untuk memandang agama di tempat terhormat,” kata Slamet Effendy, Jumat (12/12).
Sejumlah pemuka agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menyampaikan usulan terkait pematangan draf rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama (PUB). Mereka merupakan peserta workshop yang digelar untuk forum tersebut di Kantor Kementerian Agama (Kemenag), Jakarta, Jumat (12/12).
Tokoh keagamaan itu antara lain, Ongga Wijaya dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN), Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Philips K Widjaja, tokoh Buddha dari WALUBI. Selain itu, turut menjadi narasumber, Romo Agustinus Ulahayanan dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Ketut Parwata dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Jerry Sumampaow dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).
KH Slamet Effendy mengatakan, bagaimanapun tidak bisa dpungkiri, kesalahpahaman antarumat beragama kerap terjadi. Maka yang perlu dicermati, apakah sebuah konflik memang benar disebabkan agama, atau justru konflik itu merupakan riak kecil dari soal selain agama. Prinsip perlindungan umat beragama oleh negara, kata KH Slamet Effendy, perlu memerhatikan hal tersebut.
“Misalnya, persoalan enklaf-enklaf minoritas di wilayah yang penduduknya beragama mayoritas. Ini perlu diperhatikan. Demikian pula, penguatan peran tokoh agama setempat,” ujar KH Slamet Effendy Yusuf di Jakarta, Jumat (12/12).
Menurut KH Slamet Effendy, pematangan RUU PUB mesti mempertimbangkan para tokoh agama sebagai penyampai kemajemukan sebagai kenyataan teologis. Artinya, masyarakat dikondisikan agar menyadari dengan arif, perbedaan agama-agama sebagai takdir Tuhan yang tidak bisa diubah. Sehingga, keberbedaan tidak ditanggapi secara resisten oleh masyarakat, melainkan mengutamakan harmoni dan toleransi.