REPUBLIKA.CO.ID, WARSAW -- Pengungkapan rinci tentang program interogasi brutal CIA bisa memberikan petunjuk baru bagi jaksa Polandia. Setidaknya, untuk menyelidiki apakah para pemimpin mereka pada saat itu tahu tentang penjara rahasia lembaga itu di hutan Polandia.
Mantan presiden Polandia Aleksander Kwasniewski, pada konferensi pers bersama dengan mantan Perdana Menteri Leszek Miller, Rabu, mengatakan, tahu tentang fasilitas CIA di negaranya.
Dia mengatakan, CIA telah menolak pejabat Polandia memasuki fasilitas itu. Yakni sebuah villa sebagai akademi pelatihan intelijen Polandia. Sehingga mereka tidak tahu orang-orang di dalamnya sedang disiksa.
Dia mengatakan, bersama Miller tahu ada tahanan di sana. Tetapi mereka diberitahu tahanan rela bekerja sama dengan intelijen AS dan akan diperlakukan sebagai tawanan perang.
Pengacara untuk mantan tahanan mengatakan, bahkan jika para tahanan diperlakukan sebagai tawanan perang, adalah ilegal menahan siapapun secara rahasia. Apalagi Polandia memiliki kewajiban hukum untuk mencegah hal ini terjadi.
Publikasi laporan ini menimbulkan pertanyaan tidak nyaman di negara yang menjadi tuan rumah "situs hitam", sebutan untuk fasilitas rahasia CIA. Bahkan. dapat mempersulit kerja sama keamanan di masa depan dengan AS.
"Berdasarkan informasi di media, pernyataan publik dari Kwasniewski dan Miller membuat jaksa memiliki alasan pasti untuk mewawancarai mereka. Pernyataan mereka menunjukkan untuk pertama kalinya mereka tahu ada orang ditahan," kata pengacara tahanan Adb al-Rahim al-Nashiri, Mikolaj Pietrzak yang ditahan di situs itu, Jumat (12/12).
Reuters mengirim pertanyaan kepada Miller dan Kwasniewski, melalui staf mereka, menanyakan apakah mereka tahu orang yang ditahan di situs CIA tidak memiliki perlindungan hukum. Staf mereka mengatakan mereka tidak memiliki tanggapan.
CIA menolak semua komentar, termasuk pada pernyataan Kwasniewski. Polandia melakukan penyelidikan pada 2008 terhadap tiga laki-laki, al-Nashiri, Abu Zubaydah dan Walid Bin Attash, dengan tuduhan mereka ditahan secara ilegal dan disiksa di fasilitas CIA.
Jaksa tidak pernah mengungkapkan siapa yang diselidiki. Sebuah sumber yang dekat dengan penyelidikan mengatakan penyelidikan itu ditujukan untuk pejabat Polandia tanpa merinci lebih lanjut.
Ditanya apakah jaksa akan mempertimbangkan laporan pekan ini oleh Kwasniewski dan Miller, juru bicara kantor Kejaksaan Banding di kota Krakow Piotr Kosmaty menolak berkomentar.
AS sendiri belum meluncurkan penuntutan terhadap agen CIA atau pihak lain yang terlibat dalam program interogasi.
Kwasniewski mengatakan mereka melakukan apa yang mereka yakini diperlukan untuk melindungi keamanan nasional Polandia. Dia mengatakan, meminta jaminan dari pemerintah AS tahanan akan diperlakukan sesuai dengan hukum. Termasuk meminta AS menutup fasilitas jika tidak bisa memenuhinya.
Laporan oleh senat AS tersebut juga menimbulkan pertanyaan di Rumania dan Lithuania. Namun, rincian dalam laporan itu konsisten dengan informasi lain yang berkaitan dengan tempat penahanan CIA di negara-negara itu.
Perdana Menteri Lithuania Algirdas Butkevicius berharap parlemen akan membuka kembali penyelidikan, dan meminta AS untuk berbagi informasi yang relevan.
"Peristiwa yang disebutkan dalam laporan CIA terjadi kira-kira 10 tahun lalu di bawah pemerintahan lalu di Rumania, satu-satunya yang bisa membuat pernyataan tentang peristiwa ini," ujar juru bicara Perdana Menteri Rumania Victor Ponta melalui surat elektronik.
Juru bicara kejaksaan Polandia Kosmaty mengatakan jaksa berencana meminta Departemen Kehakiman AS untuk menyediakan versi lengkap laporan tersebut.
Kosmaty menambahkan karena waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan jawaban dari pihak berwenang AS, jaksa mungkin harus mengajukan izin memperpanjang penyelidikan mereka yang akan berakhir pada April tahun depan. Penyelidikan tersebut sudah diperpanjang beberapa kali.
Selain penyelidikan Polandia, pengacara untuk Zubaydah dan al-Nashiri membawa kasus terhadap Polandia ke Pengadilan HAM Eropa. Pengadilan memutuskan Polandia gagal memenuhi kewajibannya di bawah hukum Eropa dalam kasus ini.
Pengadilan memerintahkan untuk membayar ganti rugi sebesar 100 ribu euro atau 124.520 dolar AS bagi al-Nashiri dan 130 ribu euro untuk Zubaydah.