REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Algooth Putranto, melihat kinerja polisi dalam menangangi kasus pers adalah akibat ketidakpedulian semua pihak dalam memerjuangkan kebebasan pers.
“Saya catat dalam dua kasus di tahun ini yaitu Obor Rakyat dan Jakarta Post. Polisi sebagai aparat yang berhubungan langsung dengan masyarakat sipil menetapkan dasar hukum dua kasus pemberitaan seperti orang bingung,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima ROL di Jakarta, Sabtu (13/12).
Kebingungan tersebut, kata Algoth, tidak bisa dihindari perangkat undang-undang yang ada di negeri ini. Setelah UU Pers yang bersifat lex specialis diteken pada 1999, ia mengatakan, sampai sekarang belum ada lagi Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaan UU. Tak heran, kata dia, sengketa pemberitaan selalu saja menimbulkan debat kusir.
“Kerap kali dengan alasan praktis polisi dalam penyelesaian sengketa pemberitaan selalu berdasarkan hukum positif yang ada yaitu KUHP dan menomorduakan adanya UU Pers yang diteken Presiden Gus Dur untuk melindungi kerja jurnalistik,” paparnya.
Algoth mengatakan tidak mengherankan dalam kasus Obor Rakyat pihak Dewan Pers menyebutnya sebagai bukan produk pers. Setelah itu polisi justru menjeratnya dengan UU Pers yang kemudian karena diprotes lalu dijanjikan jerat lain.
''Sebaliknya dalam kasus karikatur Jakarta Post yang secara jelas adalah produk pers justru jerat yang langsung digunakan adalah pasal pidana,'' kata dia.
''Tapi yang jelas kasus Jakarta Post dan Obor Rakyat ini adalah hasil ketidakpedulian kita semua dalam memperjuangkan kemerdekaan pers,” sambung Algoth.