REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Berkaca pada kekurangan-kekurangan dan kesalahan pilihan kebijakan dari pemerintahan periode sebelumnya, Presiden Jokowi diminta melakukan perombakan kebijakan dalam mengelola perekonomian Indonesia.
Faktanya, berdasarkan hasil riset yang dilakukan Center of Reform of Economic (CORE) Indonesia, selama sepuluh tahun terakhir terjadi keberhasilan semu karena pemerintah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah secara signifikan. Baik dari indikator upah buruh rill maupun nilai tukar petani yang cenderung menurun.
“Data menunjukkan, kesenjangan pendapatan juga semakin lebar dan target penurunan angka kemiskinan tidak dapat terpenuhi,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini dalam diskusi yang diselenggarakan pada Selasa (16/12).
Agar hal tersebut tidak terjadi di masa pemerintahan Jokowi, terlebih dahulu mesti dianalisis factor-faktor penyebabnya. Masalah utamanya, kata dia, pemerintahan terdahulu melakukan liberalisasi ekonomi tanpa persiapan. Di samping itu, terjadi juga pilihan kebijakan yang semakin hands off dengan menyerahkan banyak hal pada pasar.
Dalam kebijakan fiskal, kata dia, pemerintahan SBY mengalami peningkatan utang sebesar Rp 1.24 triliun atau dua kali lipat, dari 1.268 triliun di tahun 2005 menjadi 2.508 triliun pada Juni 2014. Pemerintah juga belum berhasil menyusun kebijakan dan strategi untuk mendorong penerimaan pajak maupun non pajak.
Dampaknya, defisit keseimbangan primer terus melebar beriringan dengan defisit anggaran yang semakin besar. “Ekonomi pun semakin rapuh di tengah menghadapi defisit neraca transsaksi berjalan dan neraca perdagangan,” katanya. Maka, kekurangan-kekurangan tersebut harus diperhatikan presiden untuk kemudian membawa pembaharuan dan melakukan koreksi dalam mengelola perekonomian nasional.