REPUBLIKA.CO.ID, DAKAR -- Para pemimpin Afrika meminta negara Barat campur tangan dan selesaikan sengketa di Libya, Rabu (17/12). Mereka juga meminta Barat membendung aliran senjata ke kelompok militan di wilayah Sahel.
Presiden Chad Idriss Deby dan pemimpin lainnya mengatakan banyak hal yang harus diselesaikan termasuk dalam hal pertahanan keamanan wilayah. Deby mengatakan solusi untuk krisis tersebut bukan di tangan Afrika, tapi di tangan Barat, terutama NATO.
NATO telah menjadi pendukung utama dalam penggulingan Presiden Moammar Gadhafi. Namun, Libya diguncang pertempuran terburuk sejak ia digulingkan pada 2011. Dalam kekacauan, senjata mengalir dari Libya ke wilayah Sahel Afrika yang merupakan wilayah para militan.
''Solusi untuk krisis yang mengguncang negara ini bukan di tangan orang-orang Afrika, tapi di tangan Barat terutama NATO,'' kata Deby dalam konferensi tingkat tinggi bidang keamanan di Dakar, Senegal, Selasa (16/12), dikutip AP.
Krisis beresiko mengacaukan pemerintah daerah yang rapuh. Lebih dari tiga tahun setelah aksi NATO menggulingkan Gadhafi, dua pemerintah di Libya bersaing hingga menimbulkan kekhawatiran perang saudara.
Presiden Mali Ibrahim Boubacar mengatakan perdamaian tak akan didapat jika masalah di Libya selatan belum diselesaikan. Kekosongan politik di Libya utara memungkinkan kelompok militan berkumpul kembali ke sana dan mengancam negara tetangga seperti Mali, Burkina Faso, Nigeria dan Chad.
Mali telah menjadi salah satu korban pertama akibat kekacauan penggulingan Gadhafi. Kelompok bersenjata memborbadir Mali utara pada 2012.
Menurut Deby, Libya saat ini menjadi lahan subur bagi terorisme dan segala kejahatan. ''Sehingga NATO memiliki kewajiban untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai di Libya,'' kata dia.