REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan gedung BUMN merupakan saksi bisu penyelesaian krisis Garuda Indonesia pada tahun 2006. Gedung tersebut dibeli oleh pemerintah agar aset Garuda yang sangat strategis tersebut tidak jatuh ke tangan swasta.
"Atas dukungan DPR dan Kemenkeu maka disiapkan dana melalui APBN yang dicicil selama tiga tahun," kata Said saat dihubungi, Rabu (17/12). Saat itu, lanjut Said, pemerintah membeli gedung BUMN dengan sedikit memaksa karena hanya dibeli sedikit di atas NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) bahkan tidak melalui lelang tapi hanya melalui penilaian aset.
Garuda sebenarnya sangat "keberatan" menjual gedung tersebut ke Pemerintah. Bahkan ada beberapa kali demo karyawan yang menolak.
Karena, selain dijual dengan harga yang murah, pihak Garuda juga tidak mau kehilangan asset strategis. Perjuangan mendapatkan asset tersebut melibatkan opini dari DPR, BPK, dan penegak hukum.
Bahkan BPK diminta persetujuan karena awalnya Kementrian BUMN sudah membayar uang muka untuk membeli gedung Danareksa. Namun atas pertimbangan menyelamatkan aset Garuda agar tidak jatuh ke tangan swasta, maka Menteri BUMN yang saat itu dijabat Sofyan Djalil menyetujui pembatalan pembelian gedung Danareksa dan membeli Gedung Garuda.
"Penggantian tersebut mendapatkan persetujuan dari BPK," kata Said. Said berpendapat sejak awal Kementrian BUMN sangat menyadari kantor yang berada di Jalan Merdeka Selatan itu terlalu besar. Sehingga beberapa instansi lain serta lembaga ikut menggunakannya sebagai kantor.
Terkait rencana yang akan diambil Menteri BUMN Rini Sumarno, menurut Said merupakan salah satu langkah yang diambil untuk melakukan penghematan. Namun, lanjut dia, seharusnya pemerintah tidak mengambil langkah menjual kantor yang berada di area ring satu Jakarta.
"Cukuplah gedung Indosat yang menjadi saksi bisu pelepasan aset negara di lingkaran satu tersebut," tegasnya.