REPUBLIKA.CO.ID, LIBREVILLE -- Seorang mahasiswa tewas dalam bentrokan saat berlangsungnya unjuk rasa para penentang di ibu kota Gabon, tempat polisi melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan para pemrotes yang menuntut pengunduran diri Presiden Ali Bongo Ondimba.
Oposisi mengklaim tiga orang tewas dan ratusan orang lainnya cedera dalam bentrokan itu, kendatipun tidak ada konfirmasi mengenai jumlah itu.
Setidaknya 20 orang ditahan akibat bentrokan antara polisi dan para pengunjuk rasa, kata seorang wartawan AFP.
Jaksa penuntut umum Sidonie Flore Ouwe, yang mengemukakan kepada wartawan toko-toko "dijarah" dan mobil-mobil dibakar dalam kerusuhan itu,membenarkan bahwa seorang mahasiwa berusia 30 tahun tewas dalam bentrokan itu.
Ia meninggal akibat luka di tenggorokan mungkin akibat "senjata tajam," kata staf rumah sakit Liliane Flore Pemba.
Pasukan keamanan dikerahkan pada Sabtu untuk mencegah ratusan demonstran berkumpul di Persimpangan Rio Libreville untuk melakukan aksi unjuk rasa yang dilarang oleh kementerian dalam negeri sehari sebelumnya.
"Ali, mundur! 50 tahun terlalu lama" teriak massa.
Presiden Ondimba mulai berkuasa setelah ayahnya Omar yang memerintah sejak tahun 1967 meninggal tahun 2009.
Kehadiran polisi dan hujan lebat sebelumnya telah membubarkan massa, ketika bentrokan meletus dengan kelompok-kelompok demonstran.
Di antara mereka yang terkena semprotan gas air mata adalah beberapa tokoh oposisi, termasuk mantan ketua Komisi Uni Afrika Jean Ping dan mantan perdana menteri Jean Eyeghe Ndong.
Para pengunjuk rasa menanggapi dengan melemparkan batu-batu dan botol-botol ke pasukan keamanan. Sejumlah pengunjuk rasa lainnya membakar ban-ban dan menembak setidaknya satu kendaraan.
Menjelang unjuk rasa itu, wakil khusus PBB utuk Afrika Tengah, Abdoulaye Bathily mendesak pemerintah dan oposisi melakukan dialog untuk mencegah "krisis semakin parah" di Gabon.
Iklim politik di negara Afrika barat, bekas jajahan Prancis itu semakin memburuk dalam waktu belakangan ini dengan penerbitan satu buku yang ditulis wartawan Pierre Pean, yang menuduh presiden memiliki akte kelahiran dan ijazah palsu.
Pada November, oposisi melaporkan presiden itu tetapi ditolak pihak kejaksaan pekan ini.