REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
Hans (bukan nama sebenarnya), bersama putrinya, duduk bersimpuh di makam ibunya. Semua peziarah kubur dan tukang-tukang kembang, melihat pria ini kelihatan sangat menyayangi dan kehilangan akan sosok ibunya.
Berhari-hari dia duduk di samping makam itu. Tapi tidak ada yang tahu kalau apa yang dilakukan Hans sudah terlambat. Ia menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk berbakti kepada ibunya.
Suatu hari, ketika hendak menikah, Hans bilang kepada calon istrinya bahwa ibu kandungnya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Istrinya pun tak mempersoalkan hal itu. Di lain pihak, Hans sempat menyampaikan hal itu kepada ibunya sewaktu masih hidup. Hal ini dilakukannya karena dia tidak ingin istrinya meninggalkannya.
Ibunya pun tidak mempermasalahkan hal itu. Sebab, ibunya juga menyadari apa yang telah dilakukan Hans itu, karena dirinya tak sempat merawat dan membimbing Hans. Ibunya hanya bilang; “Nggak apa-apa Hans, yang penting kamu tetap mendoakan ibu.”
Orang-orang di kampungnya pun tahu Hans telah menikah. Namun mereka tidak pernah tahu bagaimana rupa istrinya. Mereka tidak pernah melihatnya. Hans memang bukan anak yang taat kepada ibunya. Birrul walidain-nya kepada orang tua kurang bagus, kurang berbakti.
Sekian puluh tahun yang silam, Hans ditinggal wafat ayahandanya. Hal itu terjadi kira-kira saat usianya 10 tahun atau saat kelas 3 SD. Sepeninggal ayah Hans, ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi, karena khawatir ayah tirinya tidak mnyayangi Hans.
Hans tumbuh bersama ibunya. Karena kasih sayangnya, ibunya melakukan apa saa yang terbaik demi Hans. Segala rupa dilakoni untuk menghidupi Hans, dari menjadi penjahit, jualan es, jadi buruh pabrik, buruh migran di luar negeri, dan sebagainya.
Ketika ibunya kembali ke Tanah Air, Hans sudah menjadi anak yang cerdas, bahkan bisa menembus salah satu perguruan tinggi terkemuka di salah satu kota di Indonesia.
Entah bagaimana hidupnya, suatu ketika Hans berubah. Dia kenal dengan salah seorang perempuan yang kaya. Dan Hans mengaku dia hidup sebatang kara. Jadi, istrinya tidak tahu kalau ibunya Hans, saat itu, masih hidup.
Ini bukan kisah di sinetron, saya bertemu langsung dengan sosok Hans. Ketika ibunya wafat, Hans menyesal sekali.
Sebab, Hans tak sempat mengenalkan anaknya yang pertama kepada ibunya, atau nenek dari anaknya. Putra kedua dan ketiga juga demikian. Mereka tak pernah melihat wajah nenek atau ibu dari ayahnya.
Karena itu, ketika ibunya wafat, Hans sangat menyesali kesalahannya. Ia menyesal sedalam-dalamnya. Ia merasa telah menipu dirinya, istrinya, anaknya, dan semua orang yang dicintainya. Ia telah berbohong. Dan akibat kebohongannya, ia merasa sulit untuk memperbaikinya.
Bahkan, ketika ibunya sakit, ia tak jua datang untuk menjenguknya. Alasannya sibuk. Namun, sebelum wafat, ibunya menuliskan sebuah surat agar surat itu ditujukan kepada Hans, dan hanya boleh dibuka saat ibunya sudah tiada.
Hans tidak bercerita apa isi surat ibunya itu, tapi Hans sangat menyesalinya. Itulah kenapa pada akhirnya Hans bersimpuh berhari-hari di makam ibunya. Namun semuanya sudah terlambat, ibunya sudah tiada.
Sahabat Republika, banyak pelajaran yang saya dapatkan dari kisah Hans ini. Banyak kesempatan bagi kita untuk senantiasa berbakti kepada orang tua.
Selagi mereka masih hidup, janganlah lupa untuk selalu berbakti dan mendoakan ibu dan ayah. Bersimpuh dan memohon doa padanya, Jangan sampai, apa yang dialami Hans, terjadi pada kita. Padahal, jasa ibu dan ayah, sangat besar.