REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perbankan syariah tumbuh melambat di tahun ini. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertumbuhan pembiayaan pada bulan Oktober year on year hanya tumbuh 14 persen.
Pembiayaan bank umum syariah mencapai Rp 189,291 triliun. Pembiayaan unit usaha syariah juga hanya tumbuh 9 persen mencapai Rp 63,149 triliun.
Padahal pada periode 2012-2013 pertumbuhan pembiayaan UUS mencapai 31 persen. Pembiayaan BUS pada periode yang sama tumbuh 21 persen.
Peneliti Ekonomi Syariah STEI SEBI Azis Budi Setiawan mengtakan perlambatan pertumbuhan perbankan syariah secara umum diakibatkan tekanan likuiditas. Selain itu kebijakan otoritas yang bersifat ketat dan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya akan di kisaran 5,1-5,2 persen.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi sector riil juga berimbas pada perbankan syariah. Aziz mencontohkan depresiasi rupiah yang hampir menembus Rp13 ribu yang menambah biaya produksi untuk industri manufaktur terutama yang menggunakan bahan baku impor.
Rendahnya harga komoditas dan kebijakan pembatasan ekspor minerba mentah yang mempengaruhi perusahaan pertambangan dan perkebunan. “Dalam kondisi likuiditas yang terbatas dan persaingan pendanaan yang ketat kedepan, industri keuangan dan perbankan syariah perlu memperkokoh permodalan dan variasi sumber pendanaan,” katanya.
Selain itu kenaikan harga BBM bersubsidi dan Tarif Tenaga Listrik (TTL), meningkatnya biaya dana (cost of fund) seiring kenaikan BI rate, meningkatnya harga properti, kebijakan Loan to Value (LTV) untuk KPR dan pembatasan uang muka (down payment) untuk industri pembiayaan syariah juga telah memberikan tekanan yang signifikan. Tahun 2014 sebagai tahun politik (masaPileg danPilpres) juga telah membuat dunia usaha cenderung berhati-hati untuk ekspansi dan mengurangi permintaan pembiayaan dari sektor keuangan.