REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Undang-Undang Minyak dan Gas yang mengatur pengelolaan minyak dan gas dalam negeri tidak sesuai dengan sistem demokrasi ekonomi.
"UU Migas perlu diubah menjadi lebih demokratis dan lebih berpihak pada kepentingan nasional," kata pakar ekonomi kerakyatan Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir, Kamis (25/12).
Menurut dia, keberadaan Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dikatakan tidak sesuai sistem demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi pancasila karena masih memberikan peluang besar dominasi asing dalam pengelolaan hulu hingga hilir minyak dan gas Indonesia.
Dia mencontohkan, melalui UU tersebut pengelolaan minyak di sektor hilir seperti usaha retail melalui stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) masih memungkinkan didominasi perusahaan-perusahaan retail migas asing seperti Petronas atau Shell.
"Dengan demikian, UU tersebut masih bertentangan dengan semangat demokrasi ekonomi," kata dia.
Dalam pengelolaan migas dalam negeri , menurut Revrisond, perlu bercermin pada ketentuan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam pasal itu, kata dia, dijelaskan bahwa perekonomian diupayakan sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi.
Di dalam implementasi demokrasi ekonomi, kata dia, kemakmuran diprioritaskan bagi masyarakat luas bukan hanya orang per orang atau kelompok.
Oleh sebab itu, menurut dia, sebagai upaya pemulihan kembali demokrasi ekonomi di Indonesia, maka revisi UU Migas dinilai perlu dilakukan, selain melakukan penyegaran kembali konsep koperasi, serta perjuangan buruh.
"Sebab UU Migas tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945," kata dia