REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sepanjang 2014, industri penerbangan di Indonesia mengalami kondisi yang suram. Penerbangan yang berdiri di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami pencapaian yang kurang mumpuni.
Pengamat penerbangan Chappy Hakim mengatakan, kondisi maskapai penerbangan milik pemerintah saat ini memang memprihatinkan. Maskapai yang seharusnya bisa menjadi agen pembangunan justru menuai pencapaian yang kurang memuaskan.
Sedangkan, maskapai penerbangan milik swasta dan asing justru semakin leading. “Maskapai penerbangan pemerintah harusnya bisa leading karena mereka mendapatkan ruang yang besar dan berbagai fasilitas, ini menunjukkan kegagalan pembinaan industri penerbangan di Indonesia,” ujar Chappy kepada Republika, Jumat (26/12).
Chappy menjelaskan, terpuruknya industri penerbangan Indonesia tidak lepas dari peran pemerintah. Masalah infrastruktur dan sumber daya manusia menjadi lagu lama dalam industri penerbangan yang tak kunjung dibereskan.
Sementara dari sisi sumber daya manusia, pilot dan teknisi di dalam negeri banyak didominasi oleh asing. Selain itu, petugas Air Traffic Control (ATC) juga makin kesulitan karena ditekan untuk bisa menaikkan kapasitas landing di Bandara Soekarno Hatta.
Sedangkan, menurut Chappy infrastruktur bandara masih amburadul dan penerbangan yang mengalami delay jumlahnya tidak sedikit. Dengan demikian, penerbangan di line domestik menjadi terganggu.
Chappy mengatakan, infrastruktur bandara di Tanah Air belum memenuhi kemajuan peningkatan jumlah penumpang setiap tahun. Akibatnya, daya saing dan posisi tawar bisnis airline Indonesia di dunia internasional menjadi rendah.
Apalagi sejak 2007 sampai sekarang, Federal Aviation Administration (FAA) telah mengkategorikan penerbangan Indonesia pada kategori 2. Hal ini berarti, Indonesia belum memiliki standar minimum keamanan terbang internasional seperti yang tercantum dalam peraturan International Civil Aviation Organization (ICAO).