REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Petani salak di Turi, Pakem, Sleman, Yogyakarta mengeluhkan kelangkaan pupuk jenis urea. Padahal pupuk urea salah yang digunakan oleh petani salak di Turi.
Yuanita (60), petani salak asal Purwobinangun mengaku lebih mudah mendapatkan pupuk pada masa pemerintahan sebelumnya. Menurutnya, saat ini petani tidak bisa membeli pupuk eceran.
Ia cukup keberatan dengan kondisi saat ini. Petani tidak bisa lagi membeli pupuk secara eceran. Padahal, kata Yuanita, dengan harga adanya eceran petani bisa membeli sesuai dengan kemampuan untuk membeli.
Ia menambahkan, untuk mendapatkan pupuk urea dirinya harus membeli minimal setengah kwintal dan harus melalui kelompok tani. Harga pupuk urea pada tahun lalu, lanjut Yuanita sebesar Rp 110 ribu. “Pemerintah kok kayak gitu sekarang,” ujar Yuanita saat ditemui Republika di Jalan Turi-Pakem, Jumat (26/12).
Yuanita menjadi petani salak sekaligus menjual sendiri hasil panen salak sudah lebih dari 20 tahun. Ia menjelaskan, meskipun pupuk kandang juga tetap digunakan namun, pupuk urea juga diperlukan.
Ia mengharapkan agar pemerintah mempermudah kepada petani untuk mendapatkan pupuk. Mengenai omzet dari hasil penjualan salak dalam beberapa bulan ini, kata Yuanita mengalami penurunan. Sebab, penurunan omzet diakibatkan karena harga jual salak per kilogram yang lebih murah.
Saat ini harga salak per kilogram hanya berkisar Rp 5-7 ribu. Hal tersebut, menurut Yuanita disebabkan baru selesai panen raya.
Keluhan senada juga dikatakan Parmiyati, petani salak asal Purwobinangun. Meskipun kebanyakan yang mengurus pertaniannya lebih banyak anaknya namun, Parmiyati mendengar dari anaknya tentang kelangkaan pupuk urea. “Katanya susah nyarinya,” katanya, Jumat (26/12).
Mengenai harga salak per kilogramnya, kata Parmiyati juga mengalami penurunan. Parmiyati mengaku saat ini cukup sulit untuk menghabiskan salak dengan cepat. Sebab, pembeli salak juga tidak banyak.
Padahal, dalam proses menanam hingga panen membutuhkan tenaga pekerja untuk merawat. Satu orangt pekerja, kata Parmiyati, diberi bayaran Rp 40-50 ribu per hari. “Belum makannya apa segala macam,” lanjutnya.