REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah kembali mewacanakan akan membuat harga baru pada Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium 1 Januari nanti. Kebijakan baru untuk harga premium ini dinilai semakin menunjukkan sikap pemerintah yang tidak ingin bersinergi dengan DPR. Padahal, kebijakan BBM merupakan kebijakan strategis yang memiliki dampak luas di masyarakat.
Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Hakim menilai rencana kebijakan pemerintah menaikkan dan melakukan perubaham harga premium kembali membuktikan pemerintah tidak ingin bersinergi dengan DPR. Padahal, DPR belum mendapat penjelasan soal kebijakan menaikkan harga BBM yang dilakukan pemerintah disaat harga dunia sedang turun drastis.
"Pemerintah harus segera membicarakan soal kebijakan tersebut, ini kebijakan strategis, jangan berjalan sendirian," kata Abdul Hakim pada Republika Online (ROL), Senin (29/12).
Langkah pemerintah untuk melepas harga premium sesuai harga pasar sangat beresiko bagi ekonomi makro nasional. Dengan harga minyak dunia saat ini yang sedang turun, memang menguntungkan untuk sementara, namun ketika harga minyak dunia naik, maka harga premium akan mengikuti yang implikasinya pada masyarakat menengah bawah.
Untuk itu, kata Abdul Hakim, premium harus mendapat subsidi dari pemerintah. "Kalau seperti ini, kondisi harga akan sangat fluktuatif yang membahayakan ekonomi makro nasional," kata Abdul Hakim.
PKS mengingatkan agar pemerintah memberikan penjelasan kepada DPR untuk mencari solusi dari kebijakan strategis seperti ini. Hingga saat ini, kata salah satu inisiator interpelasi BBM ini, DPR belum mendapat penjelasan soal kebijakan pemerintah terkait harga BBM.
Wacana untuk mengubah harga premium tanggal 1 Januari ini hanya sekadar antisipasi atas hak interpelasi yang akan diajukan DPR. Namun, imbuh Abdul Hakim, DPR tetap harus mendapat penjelasan soal kebijakan harga BBM ini. "DPR tetap butuh penjelasan, pemerintah jangan jalan sendiri di kebijakan strategis," tegas anggota komisi V DPR RI ini.