REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Refleksi yang dilakukan PDI Perjuangan menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dipaksakan yang dilakukan di penghujung periode keanggotaan DPR 2009-2014.
"Masih ada kebijakan di bidang hukum selama 2014 yang menjadi alat kekuasaan, salah satunya adalah pengesahan RUU MD3 yang dipaksakan," kata Ketua DPP PDI-P Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Trimedya Panjaitan di Jakarta, Selasa (30/12).
Hal itu disampaikan Trimedya dalam catatan akhir tahun 2014 PDI-P tentang Hukum dan HAM.
Dia mengatakan PDI-P melakukan pengujian formil karena pembuatan UU MD3 melanggar prosedur pembuatan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan Peraturan DPR nomor 1 tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR. Menurut dia uji materil itu karena UU tersebut telah menegaskan hak PDI-P sebagai partai pemenang pemilu untuk menjadi ketua DPR.
"Serta merampas hak PDI-P untuk memimpin alat kelengkapan dewan secara proporsional sesuai perolehan suara dalam pemilu legislatif," ujarnya.
Namun menurut dia, perjuangan hukum itu kandas karena secara mengejutkan MK menolak permohonan pengujian UU MD3 tanpa memberikan kesempatan kepada PDI-P mengajukan saksi ahli yang sudah disiapkan.
Dia mengatakan putusan MK terkait pengujian UU MD3 sangat mempengaruhi jalannya kehidupan kenegaraan ke depan seperti terjadinya perpecahan di DPR. "Penolakan MK untuk mereview UU MD3 tersebut telah menyebabkan terjadinya perpecahan di DPD sehingga DPR tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara baik," katanya.
Perpecahan itu menurut dia baru berakhir setelah Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih sepakat berdamai. Dia mengatakan revisi UU MD3 yang menjadi pintu keluar atas kekisruhan di parlemen dan telah disahkan dalam rapat paripurna DPR tanggal 5 Desember 2014.
"Kekisruhan politik di DPR itu sebenarnya tidak akan terjadi seandainya MK sebagai pengawal demokrasi dapat memutus pengujian UU MD3 dengan tepat dan adil," katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Ahmad Basarah mengatakan pembuatan UU MD3 mengandung motif politik tertentu untuk memperjuangkan motif politik lain. Dia mencontohkan, ketika PDI-P menjadi pemenang, salah satu pasal dalam UU yang diubah adalah pasa 82 dan digantikan menjadi pemilihan sistem paket.
"Itu melanggar asas kepastian hukum sehingga era politik diwarnai kegaduhan ditambah sikap MK yang tidak mengabulkan uji materi UU MD3," ujarnya.
Dia menilai apabila MK memiliki sense politik yang kuat, maka tidak akan terjadi kegaduhan yang disebabkan UU MD3 tersebut.