REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas menandatangani 20 perjanjian internasional untuk bergabung dengan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Dia menandatangani Statuta Roma, perjanjian pendirian ICC, dalam pertemuan di Ramallah, Tepi Barat, Rabu (31/12). //BBC// melaporkan menandatangani statuta tersebut dinilai sebagai langkah awal bergabung dengan ICC dan menyeret Israel dengan tuduhan kejahatan perang.
Langkah itu diambil satu hari setelah Dewan Keamanan (DK) PBB gagal mengesahkan resolusi Palestina yang menuntut diakhirinya pendudukan Israel di Palestina pada akhir 2017.
Rancangan resolusi Palestina gagal disahkan karena hanya mendapat dukungan dari delapan negara anggota DK dari sembilan suara yang dibutuhkan. Satu negara pemegang veto, yakni AS juga menentang rancangan.
"Mereka menyerang kami dan tanah kami setiap hari. Kepada siapa kami harus melapor? DK PBB mengecewakan kami, kemana kami pergi?" ujar Abbas dalam pertemuan yang dihadiri pejabat Palestina yang disiarkan di televisi.
Menurut Statuta Roma, Palestina akan menjadi bagian dari ICC pada hari pertama bulan ini. Selanjutnya, Palestina harus menunggu 60 hari setelah menyetorkan dokumen yang telah ditandatangani dan meratifikasi dokumen aksesi PBB di New York.
Menjadi anggota ICC memang bukan jaminan bagi Palestina. Namun, langkah untuk bergabung merupakan tindakan simbolisme politis.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menanggapi dengan cepat keputusan Abbas tersebut. Dia mengatakan tindakan Abbas justru akan menjerumuskan Palestina ke dalam tuntutan karena mendukung Hamas.
Netanyahu bersumpah mengambil langkah-langkah untuk menolak setiap langkah potensial terhadap Israel. Israel bukan merupakan anggota ICC dan tidak mengakui yurisdiksinya.
"Palestinalah yang bersatu dengan Hamas yang harus khawatir mengenai ICC di Den Haag. Kami akan mengambil langkah dan mempertahankan tentara Israel," kata Netanyahu dalam pernyataannya.
Amerika Serikat juga mengecam tindakan Abbas. AS mengatakan sangat khawatir dengan perdamaian antara Israel dan Palestina.
"Tindakan itu kontraproduktif dan tidak mencerminkan asirakan rakyat Palestina atas negara yang berdaulat dan merdeka. Tindakan ini bukan jawaban," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Jeff Rathke dalam pernyataan.