REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki tahun 2015, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia meminta masyarakat untuk mewaspadai peningkatan kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes Indonesia, Tjandra Yoga Aditama menyebutkan, sampai pertengahan bulan Desember 2014 tercatat penderita DBD di 34 provinsi sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia.
Meski demikian, angka tersebut diakuinya lebih rendah dibandingkan tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 jiwa.
"Namun, bulan Januari merupakan awal peningkatan kasus DBD," ujarnya kepada Republika, di Jakarta, Senin (5/1).
Ia menjelaskan, DBD disebabkan oleh nyamuk Aedes Aegypti betina. Nyamuk yang membawa virus dengue ini, terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut.
Nyamuk Aedes Aegypti betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat nyamuk ini menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viraemia) yaitu dua hari sebelum panas sampai lima hari setelah demam timbul.
Nyamuk kemudian menjadi infektif delapan sampai 12 hari sesudah mengisap darah penderita yang sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama hidupnya.
Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama tiga sampai empat hari (rata-rata selama empat sampai enam hari) timbul gejala awal penyakit DBD. Hingga saat ini, Kemenkes mengakui belum ada obat dan vaksin untuk mencegah DBD.
"Pengobatan terhadap penderita hanya bersifat simtomatis dan suportif," ujarnya.
Untuk itu, ada beberapa kegiatan yang dilakukan pihaknya. Diantaranya, pertama yaitu imbauan secara terus-menerus oleh pimpinan/pejabat negara kepada para kepala daerah dan masyarakat dalam pencegahan DBD.
Kedua, pelaksanaan program juru pemantau jentik (jumantik) dengan disertai advokasi sehingga keberadaan dan pembiayaannya diteruskan oleh pemerintah daerah setempat.
Ketiga, dukungan pemerintah pusat dalam penanggulangan terjadinya peningkatan kasus DBD di daerah. Dukungan pusat yang diberikan antara lain memberikan saran, masukan serta konsultasi via telepon dan pemantauan secara terus-menerus perkembangan kasus, mengirimkan bahan/alat penanggulangan yang diperlukan, seperti insektisida, larvasida, mesin fog, rapid diagnostic test (RDT), media penyuluhan, dan buku-buku pedoman penanggulangan DBD.
Langkah keempat, penanganan DBD di daerah merupakan bagian tidak terpisahkan dari desentralisasi di bidang kesehatan. Upaya kelima, penerapan pendekatan baru dalam program DBD baik di pusat maupun daerah, misalnya Communication for Behavioural Impact (COMBI). Jadi, melakukan suatu komunikasi yang menghasilkan dampak perubahan perilaku. Keenam, meningkatkan peran serta mitra kerja (lintas program, lintas sektor, perguruan tinggi, swasta, badan internasional, dan lain-lain) dalam pengendalian DBD di Indonesia. Terakhir, meningkatkan kegiatan kampanye (KIE) dalam pencegahan DBD.