REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Koalisi Masyarakat Sipil meminta Presiden Joko Widodo melibatkan KPK dan PPATK dalam memilih Kapolri baru. Pelibatan dua lembaga tersebut dinilai bisa memberi masukan mengenai rekam jejak seseorang terkait perkara korupsi dan transaksi keuangan mencurigakan.
Wakil Koordinator ICW yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, Agus Sunaryanto, mengatakan, calon Kapolri pengganti Jenderal (Pol) Sutarman harus ditelusuri rekam jejaknya terutama terkait kepemilikan harta kekayaan. Sebab kepemilikan harta dari pejabat negara memiliki dimensi atau arti yang sangat luas.
Jika memiliki 'rekening gendut', lanjutnya, harus ditelusuri terkait asal muasal harta kekayaannya. "Dan itu yang mempunyai wewenang adalah KPK dan PPATK," katanya dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Jumat (9/1).
Dia menjelaskan, calon Kapolri yang memiliki harta tidak wajar harus bisa membuktikan sumber hartanya apakah dari bisnisnya, perusahaan atau yang lain. Jika dari perusahaan, lanjutnya, harus jelas hubungannya, apakah terkait dengan kasus-kasus yang pernah ditangani yang bersangkutan.
Sebab, kata dia, hal itu akan berpengaruh saat yang bersangkutan menjabat sebagai Kapolri. Menurut dia, jika Kapolri yang terpilih memiliki 'rekening gendut' maka yang bersangkutan akan tersandera dan tidak obyektif dalam menangani kasus. "Kita khawatir kalau nanti akan menyandera ketika pemberinya terjerat kasus di kepolisian," ujarnya.
Direktur Lingkar Madani (Lima) yang juga bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil, Ray Rangkuti, mengatakan, Presiden Jokowi harus membuktikan janjinya untuk menjadikan pemerintah di bawah pimpinannya benar-benar bersih. Hal itu bisa dibuktikan salah satunya dengan melibatkan KPK dan PPATK untuk menelusuri harta kekayaan dalam memilih Kapolri pengganti Sutarman.