REPUBLIKA.CO.ID, Habiburrahman El-Shirazy, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, yang akrab disapa Kang Abik, dikenal sebagai novelis nomor satu Indonesia versi INSANI Universitas Diponegoro Semarang. Gelar itu diberikan atas karya fenomenalnya, Ayat-Ayat Cinta (AAC).
Kini, Ayat-Ayat Cinta yang diterbitkan Republika Penerbit pada 2004 telah memasuki usia ke-10. Pada usianya yang ke-10 tahun, Kang Abik akan kembali merilis atau menerbitkan AAC Jilid 2 pada 2015.
Seperti AAC Jilid 1 yang sebelum diterbitkan menjadi buku telah dibuat cerita bersambung (cerbung) di harian Republika maka AAC Jilid 2 ini pun akan didahului dengan cerbung di Republika. Cerbung itu akan dimulai pada Senin (5/1).
Seperti apa kisahnya, bagaimana romantisme pada AAC 2 ini, apakah Fahri (tokoh utama dalam AAC Jilid 1) sukses membangun rumah tangganya bersama Aisha sepeninggal Maria? Apakah alur cerita AAC Jilid 2 masih mengambil setting di Timur Tengah? Simak penuturan Kang Abik seputar AAC 2 kepada wartawan Republika, Syahruddin El-Fikri, berikut ini.
Bagaimana perkembangan dunia sastra belakangan ini atau setelah 10 tahun AAC 1?
Saya terbiasa memandang perkembangan bangsa dan negeri ini dengan pandangan optimistis. Termasuk, perkembangan sastra di negeri ini. Menurut saya, perkembangannya cukup menggembirakan.
Banyak muncul penulis muda dengan karya berbobot. Seperti yang sebut tadi, ada penulis muncul mengikuti tren Ayat-Ayat Cinta, sebagai pemantik tidak masalah. Selanjutnya, mereka akan jadi penulis dengan jati diri mereka sendiri. Yang mungkin agak kurang justru adalah kritikus sastra. Belum hadir kritikus sekaliber HB Jassin.
Apa saja inspirasi yang didapat masyarakat dengan kehadiran AAC 1?
Di antaranya, Islam itu agama penuh cinta dan kasih sayang. Semakin dalam penghayatan seseorang akan Islam, semestinya harus semakin besar rasa cinta dan kasih sayangnya kepada sesama dan seluruh alam. Berikutnya, Islam adalah ilmu.
Pemuda Islam yang mencintai Islam semestinya juga mencintai kedalaman ilmu, seperti Fahri yang dalam kondisi terik panas luar biasa tetap melangkahkan kaki menempuh jarak puluhan kilometer demi talaqqi, belajar langsung, pada gurunya, yaitu Syekh Ustman. Juga, memegang prinsip-prinsip Islam dengan benar dan bijak itu menurut saya sangat sangat keren, he he he.
Kang Abik, ada pengamat sastra yang menyebut karya Kang Abik mengingatkan pada karya Buya Hamka, seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka'bah. Tanggapan Anda?
Segala puji hanya milik Allah. Saya menyampaikan terima kasih yang mendalam atas apresiasi itu. Namun, jujur saya ini masih harus banyak belajar. Saya belum ada apa-apanya dibandingkan Buya Hamka. Beliau ulama besar dan sastrawan besar.
Dan, pada akhirnya karena latar belakang zaman dan pendidikan yang mungkin berbeda maka saya rasa Buya Hamka adalah Buya Hamka dengan segala ketokohannya. Dan, saya menjadi diri saya sendiri dengan sejarah yang berbeda.
Baca berita Ayat-Ayat Cinta 2, Hadir Lagi Lewat Cerbung (1) di sini (klik)