REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) merevisi Permenaker Nomor 40 Tahun 2012 untuk melarang masuknya pengajar agama apa pun dari luar negeri ke Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menangkal persebaran paham radikalisme keagamaan dari luar negeri.
Terkait itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri, KH Muhyidin Junaidi, menyayangkan, pemerintah menafikan manfaat pengajar agama Islam dari luar negeri. Terutama, kaitannya memenuhi kekurangan jumlah pengajar bahasa Arab di Tanah Air.
“Guru agama dari luar negeri tidak hanya mengajarkan agama, melainkan juga bahasa asing. Terutama, bahasa Arab yang memang sangat penting bagi pendidikan Islam di Tanah Air,” ujar KH Muhidin Junaidi saat dihubungi ROL, Jumat (9/1) di Jakarta.
Menurut Kiai Muhyidin, alasan Kemenaker bahwa Indonesia masih memiliki banyak tenaga pengajar Islam tidak bisa diterima. Pasalnya,hanya ada sedikit sekali di antara mereka yang mampu mengajarkan bahasa Arab. Sehingga, melarang guru agama asing masuk ke Indonesia sama saja menghambat pendidikan Islam secara keseluruhan.
Demikian pula, Kiai Muhidin melanjutkan, argumen Kemenaker bahwa yang dilarang hanyalah pengajar agama, bukan pengajar bahasa asing. Menurut, hal itu justru menunjukkan standar ganda. “Banyak, misalnya, tenaga kerja asing pengajar bahasa Inggris yang di Indonesia justru menyambi sebagai misionaris. Ini kasat mata dan sudah jadi rahasia umum,” kata Kiai Muhyidin.
Kiai Muhyidin lantas menegaskan, revisi aturan Kemenaker tersebut tidak melihat sumber radikalisme secara menyeluruh. Revisi ini, demikian Kiai Muhidin, cenderung menjustifikasi agama sebagai satu-satunya pemicu radikalisme. Padahal, paham kekerasan bisa saja muncul dari banyak faktor, semisal ketidakadilan, kemiskinan, atau justru kurangnya pendidikan agama.
“Pemerintah jangan sampai membuat kebijakan yang mencitrakan umat Islam sebagai kelompok pemicu radikalisme,” kata Kiai Muhyidin.