REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sudah memasuki usia ke-42 tahun. Di usianya yang lebih dari 4 dekade ini, nama Megawati masih identik dengan partai berlambang banteng tersebut. Setelah memimpin selama 4 periode, nama Putri Presiden pertama Indonesia itu kembali mencuat untuk maju menjadi calon ketua umum PDIP.
Peneliti senior Founding Father House (FFH), Dian Permata menilai Megawati seharusnya tidak lagi bernafsu untuk menduduki kursi ketum PDIP. Sebab, level Megawati sudah jauh melebihi level kader yang seharusnya jadi ketum.
Sosok mantan Presiden RI tersebut sejajar dengan tokoh senior partai lainnya seperti Almarhum Gus Dur di PKB, Hilmi Aminuddin di PKS, serta Amien Rais di PAN.
"Posisi mereka di parpol sebagai ketua dewan syuro atau majelis pertimbangan, Mega sejatinya juga harus begitu, bukan sebagai ketum lagi," katanya kepada Republika, Ahad (11/1).
Menurutnya, masih banyak kader PDIP yang pantas menjadi ketum. Nama-nama yang lebih muda seperti Joko Widodo, Puan Maharani, dan Ahmad Basarah, serta lainnya. PDIP harus dapat mencermati pasar di Pemilihan Presiden 2019.
Sebab, kata Dian, wajah muda memiliki magnet electoral potensial bagi calon pemilih. Dengan majunya kembali Megawati sebagai calon ketum PDIP, akan membuat regenerasi PDIP macet.
"Regenerasi di elite PDIP bakal macet luar biasa, karena membuat rantai regenerasi dari DPC sampai DPP tidak berjalan alamiah," ujarnya.
Sementara peneliti politik LIPI, Siti Zuhro mengungkapkan sebenarnya tidak ada larangan bagi Megawati untuk maju lagi sebagai calon ketum PDIP. Hanya saja, apakah akan ada calon lain yang muncul selain Mega.
Sebab selama ini PDIP belum pernah memunculkan kontestasi pemilihan ketum sejak berdiri. Pemilihan ketum selalu dilalui dengan aklamasi dan mengusung calon tunggal.
"Kontestasi dalam pemilihan ketum harus mulai ditradisikan, sebab parpol menjadi acuan praktik demokrasi," katanya.