REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Hukum Tata Negara, Said Salahudin mengatakan, keterpilihan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutarman berpotensi meruntuhkan kewibawaan institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
"Karena lembaga itu dipimpin oleh orang yang punya status sebagai tersangka, padahal Polri adalah lembaga penegak hukum. Boleh jadi akan muncul ketidakpercayaan yang meluas dari masyarakat terhadap institusi Polri," ujar Said Salahudin di Jakarta, Kamis (15/1).
Apalagi, lanjutnya, jika kemudian KPK menangkap dan menahan Kapolri. Itu akan sangat mencoreng nama Indonesia di dunia internasional. Menurut Direktur Sigma tersebut, hubungan kerja sama antara lembaga KPK dan Polri dalam proses penegakan hukum sudah barang tentu tidak akan berjalan harmonis.
"Alih-alih bekerja sama, KPK dan Polri bisa saja malah akan saling 'cakar-cakaran'. Sebagai Kapolri, Budi Gunawan pastilah akan mengambil langkah-langkah tertentu untuk memproteksi dirinya agar tidak diciduk oleh KPK. Bukan mustahil kasus 'cicak versus buaya' jilid dua akan terjadi," ucap dia.
Ia mengutarakan kalau hal itu sampai terjadi, maka sudah pasti masyarakatlah yang dirugikan karena proses penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, ia mengatakan karena DPR telah memberikan persetujuan atas usulan Presiden, maka dalam perspektif ketatanegaraan harus dikatakan bahwa Budi Gunawan telah resmi menjadi Calon Kapolri terpilih, sebab ketentuan Pasal 11 UU Kepolisian telah terpenuhi.
Secara ketatanegaraan keterpilihan Budi juga sangat kuat karena ia dipilih dan disetujui oleh dua lembaga yang mendapatkan mandat langsung dari rakyat, yakni Presiden dan DPR. Namun demikian, ia mengatakan, keterpilihan Budi Gunawan berpeluang menimbulkan permasalahan.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI menggantikan Jenderal Pol Sutarman, setelah rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi.