REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir menilai penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening gendut dapat mengulang konflik yang pernah terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kasus itu disebut konflik cicak dan buaya, di mana penyidik KPK mendapat perlawanan dari petinggi Polri.
"Penetapan Budi Gunawan dapat mengulang konflik simulator SIM," kata Muzakkir saat dihubungi Republika Online, Ahad (18/1).
Hanya saja, kata dia, yang dapat memicu permasalahan saat ini adalah tindakan KPK. Menurut dia, KPK terlalu singkat dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka saat akan menjalani fit and proper test calon kepala Polri. Muzakkir menilai tindakan KPK tersebut terkesan tergesa-gesa dan menantang Presiden Joko Widodo yang telah mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri.
Lagi pula secara proses, Muzakkir menilai, tindakan KPK merupakan sebuah pelanggaran prosedur. Berdasarkan rilis yang disampaikan Ketua KPK Abraham Samad, Muzakkir memaparkan, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka setelah mendapatkan hasil dari penyelidikan.
Padahal seharusnya, seseorang belum bisa ditetapkan sebagai tersangka hanya berdasarkan hasil penyelidikan. Setelah penyelidikan, lanjut dia, KPK seharusnya memastikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan melalui penyidikan untuk kemudian bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka atau tidak.
Muzakkir berpendapat, konflik antara KPK dan Polri dapat terhindar apabila Presiden Joko Widodo tetap mengangkat dan melantik Budi Gunawan menjadi kapolri.