REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pdt Albertus Patty mengakui, ada begitu banyak korban tewas akibat peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Kiranya, 50 orang meninggal setiap harinya akibat narkoba.
Namun, realitas tersebut tidak bisa menjadi alasan emosionalnya pemerintah, untuk menjatuhkan eksekusi mati. Apalagi, bila eksekusi mati cenderung lebih banyak dilakukan kepada para kurir narkoba, alih-alih gembong narkoba.
Belum lagi, dalam pandangan agama Kristen, agama ada untuk memberikan kehidupan, bukan untuk mematikan. Karena itu, ia mengharap, pemerintah bertugas menjaga kehidupan nyawa seseorang, bukan untuk mematikannya.
“Gembong saja kita tolak (eksekusi matinya), apalagi kurir narkoba. Kasihan dong dia. Mungkin saja dia menjadi kurir karena kemiskinan, atau tidak punya pilihan lain,” kata Albertus Patty kepada Republika, Ahad (18/1).
Menurut Albertus, justru para kurir narkoba itu mesti tetap dibiarkan hidup, meskipun tetap pula dihukum. Sebab, keberadaan mereka di dalam penjara seumur hidup menjadi cerminan bagi masyarakat maupun pemerintah tentang kurangnya solidaritas sosial.
Sehingga, renggangnya solidaritas sosial itu dipahami berdampak pada dirinya yang lebih memilih menjadi seorang kurir narkoba dan terjerat ke dalam jaringan kriminal. “Begitu juga misalkan dia gembong (narkoba), jangan dibunuh. Karena dia juga memberikan pemahaman kepada kita, selama ini pengawasan terhadap aparat penegak hukum kita kurang, sehingga butuh dibereskan,” katanya.
Albertus juga mewanti bahayanya penerapan eksekusi mati. Yakni, bila di kemudian hari muncul bukti kuat bahwa mereka yang sudah dieksekusi mati ternyata tidak bersalah. Albertus menekankan, sebuah persidangan pun bisa berpeluang keliru menjatuhkan vonis.
Karena itu, kata Albertus, pemerintah perlu memikirkan masak-masak untuk menukar hukuman mati dengan vonis isolasi seumur hidup sebagai hukuman terberat. “Ingat misalnya, kasus Sengkon-Karta (tahun 1970-an). Nah, itu sudah dihukum, berpuluh-puluh tahun baru ketahuan mereka tidak bersalah. Kalau misalnya tereksekusi mati, bagaimana kita mau menebusnya?”