REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Edy M. Ya'kub/wartawan Antara
Kebebasan berekspresi yang dikembangkan majalah satir dari Prancis, Charlie Hebdo, bukanlah kasus pertama. Sebut saja, The Satanic Verses, Submission, The Life of Muhammad, Fitna, Innocence of Muslims, kartun-kartun nabi, hingga pembakaran Alquran.
Ya, kebebasan ala Charlie Hebdo itu memang aneh karena kebebasan berekspresi yang dikembangkan justru sama dengan kebebasan menghina.
Menurut pemimpin redaksi majalah tersebut, Stephane Charbonnier, majalah itu memuat sudut pandang sayap kiri dan bahkan orang-orang yang memiliki pandangan abstain. Majalah tersebut muncul pada tahun 1969 dan sempat berhenti pada tahun 1981. Namun, pada tahun 1992, majalah tersebut bangkit kembali, demikian berdasrkan catatan.
Charb, panggilan Stephane Charbonnier, adalah pemred sejak 2009 hingga akhirnya ditembak mati bersama sembilan orang lainnya di kantor redaksi media itu bersama dua orang anggota polisi pada tanggal 7 Januari 2015.
Meski insiden 7 Januari 2015 itu diduga dilakukan kelompok militan Islam, majalah yang terbit setiap Rabu itu tidak hanya satir terhadap Islam, tetapi juga terhadap aspek Kristen dan Yudaisme.
Akhirnya, kebebasan (bebas berbuat apa pun) ala Charlie Hebdo itu pun mendapat 'tandingan', yakni kebebasan meneror, mengebom, mengklaim, mengafirkan, merazia, merusak, hingga membunuh. Kicauan terakhir majalah mingguan Charlie Hebdo sesaat sebelum diserang pria bersenjata adalah gambar karikatur tentang pemimpin kelompok militan ISIS, Abu Bakr Al-Baghdadi.
Dalam jejaring sosial Twitter media itu, sosok Al-Baghdadi digambarkan sedang berpidato dengan diberi kalimat pengantar 'Ngomong-ngomong, salam hangat' dan narasi pidato 'Untuk kamu juga, Al-Baghdadi. Terutama untuk kesehatanmu'.
Namun, penyerangan yang dilakukan empat orang bersenjata itu bukan dipicu karikatur sosok Al-Baghdadi, melainkan reaksi terhadap publikasi Charlie Hebdo yang menampilkan gambar karikatur Nabi Muhammad dengan nada menghina.
The Guardian mencatat karikatur Nabi Muhammad yang ditampilkan pada halaman utama itu juga menyebut Muhammad sebagai editor majalah Sharia Hebdo yang merupakan plesetan nama majalah itu, bahkan karikatur itu diberikan keterangan dengan ungkapan 'Hukum cambuk 100 kali bila Anda tidak mati tertawa'.
Kendati diteror berkali-kali, majalah ini tidak pernah jera sehingga pemerintah Prancis terpaksa menutup kantor kedutaan serta sekolah-sekolah di 20 negara akibat khawatir dengan keselamatan warganya di luar negeri.
Islam Indonesia
Di tengah kontroversi kebebasan berekspresi ala Charlie Hebdo yang berhadapan dengan kebebasan beraksi kekerasan dari kelompok militan Islam itu agaknya politikus dunia tertarik dengan pandangan Islam Indonesia tentang kontroversi itu.
Buktinya, dua tokoh Inggris, Doug Smith (wakil sekretaris jenderal Partai Konservatif yang sekarang berkuasa) dan Dean Godson (direktur Policy Exchange, sebuah lembaga dibawah naungan Partai Konservatif), langsung menemui Rais Aam PBNU KH Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang, Jawa Tengah, 11 Januari 2015.
"Kami amat membutuhkan pencerahan dari Gus Mus karena wacana tentang Islam di Eropa dewasa ini didominasi oleh paham-paham radikal," kata Dean Godson.
Senada dengan itu, rekannya Doug Smith berharap Gus Mus mau ke Eropa agar Eropa dapat memunculkan gerakan Islam Rahmatan lil 'Alamin secara nyata dan meluas, seperti Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia.
"Di bawah kepemimpinan Bapak Mustofa, Nahdlatul Ulama bisa menjadi 'Saudara Tua' (Big Brother) bagi gerakan Islam Rahmatan lil Alamin di seluruh dunia," tutur politikus yang datang ke Rembang atas saran Magnus Ranstorp (penasihat keamanan dalam negeri Swedia) itu.
Tidak jauh berbeda dengan Gus Mus, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga menegaskan bahwa reaksi umat Islam terhadap penghinaan pada lambang-lambang Islam, Alquran, dan Nabi Muhammad Saw., dalam bentuk kartun, film, dan sebagainya tidak perlu ditanggapi dengan ekspresi yang berlebihan.
"Itu karena itu tidak menyelesaikan masalah. Terlebih lagi, Nabi kami tidak akan berkurang keagungan, kemuliaan, dan keluhurannya karena penghinaan itu," katanya di sela diskusi 'Kekerasan Charlie Hebdo: Antara Kebebasan Pers dan Toleransi Kehidupan Umat Beragama' di Jakarta, 15 Januari 2015.
Din menjelaskan bahwa ekspresi yang berlebihan akan memunculkan aksi-reaksi dan Islamofobia-Westernfobia yang hanya akan mengacaukan dunia. "Bukan berarti kita diam, melainkan harus ada cara yang cerdas karena kelompok itu (penghina Islam) tidak cerdas, jadi jangan ditanggapi dengan jalan yang sama," katanya.
Pandangan itu sepadan dengan Paus Francis. "Tidak ada satu orang pun boleh menghina keyakinan orang lain. Dengan kata lain, kebebasan berbicara bukan berarti sama sekali tidak terbatas," kata Paus saat mengikuti Pertemuan Antarpemuka Agama di Bmich, Kolombo, Sri Lanka, sebagaimana diwartakan TIME edisi 13 Januari 2015.
Agaknya, pandangan Islam di Indonesia tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama itu ditunggu. Islam di Indonesia tidak membenarkan kebebasan berekspresi yang sama dengan kebebasan menghina.
Namun, kebebasan beragama juga tidak dibenarkan umat Islam di Indonesia bila kebebasan beragama itu sama dengan kebebasan merusak (yang meniadakan perbedaan sebab perbedaan atau kemajemukan adalah keniscayaan).
Karena itu, umat Islam di Indonesia menilai kebebasan berekspresi yang menjurus pada kebebasan menghina, atau kebebasan beragama yang juga menjurus pada kebebasan merusak (meniadakan perbedaan) itu tidak islami karena hal itu akan justru memancing benturan.