REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pengamat hukum pidana Universitas Riau, Erdianto Effendi, berpendapat pada dasarnya pidana mati masih ada dalam peraturan perundang-undangan RI dan ketentuan tersebut diterapkan di Indonesia.
"Apalagi sebagai seorang Muslim, secara konsep, saya setuju pidana mati diterapkan dalam hal yang sejalan dan senafas dengan kaidah hukum Islam (qishash)," katanya di Pekanbaru, Senin (20/1).
Dia mengemukakan hal itu terkait lima terpidana kasus narkoba di Indonesia dieksusi hukuman mati pada Ahad (18/1) dini hari WIB.
"Terkait pidana mati, harus dilihat dari beberapa hal, pertama tentang aspek keberlakuan hukum yaitu filosofis, yuridis dan sosiologis, lalu kedua menyangkut ilmu pengetahuan, ketiga menyangkut HAM," katanya.
Dilihat dari aspek filosofis, katanya, artinya dilihat dari cita-cita hukum bangsa Indonesia dalam hal ini Pancasila. "Memang Pancasila ada sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi juga ada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam ajaran agama khususnya Islam, pidana mati dibenarkan dan justru ada dalam Alquran," katanya.
Erdiantojuga menilai konsep pidana mati sejalan dengan hukum qishash dalam hukum pidana Islam.
Dilihat dari aspek yuridis, pidana mati masih dimuat sebagai salah satu bentuk sanksi (pidana) menurut sistem hukum Indonesia, baik di dalam KUHP maupun berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana khusus.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dari aspek sosiologis, keberadaan pidana mati diakui dalam hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dalam berbagai hukum adat dikenal adanya pidana mati.
"Kedua dari aspek ilmu pengetahuan hukum, keberadaan pidana mati telah lama menjadi perdebatan. Dari kelompok yang pro pidana mati menyatakan bahwa pidana mati sangat efektif menjadi efek penjera.