Senin 19 Jan 2015 22:20 WIB

Misbakhun Ingatkan LPS Soal Kerugian Negara Terkait Bank Mutiara

Misbakhun
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Misbakhun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR, Muhammad Misbakhun mengingatkan para komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) agar berhati-hati dan tak asal-asalan Terkait penjualan Bank Mutiara. Khususnya menyebut bahwa selisih harga jual Bank Mutiara dengan Penanaman Modal Sementara (PMS) ke bank eks Century itu sebagai risiko dan biaya krisis keuangan.

Alasannya, dana yang dikelola LPS adalah uang negara. Menurut Misbakhun, menjadi ironis dan bisa dianggap melanggar hukum apabila selisih harga jual dan PMS ke Bank Mutiara yang dulunya bernama Bank Century, seakan-akan bukanlah uang negara yang hilang.

"Anda bisa bilang price to book value Bank Mutiara itu hanya Rp 3 triliunan. Tapi yang jelas, negara sudah keluarkan lebih dari Rp 8 triliun untuk bank itu. Kerugian negara sudah jelas," tegas Misbakhun dalam rapat Komisi XI DPR dengan Komisioner LPS, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (18/1).

Misbakhun menegaskan, meski LPS menyebut pelepasan Bank Mutiara dengan harga Rp 4,4 triliun sebagai harga terbaik. Namun tetap saja ada uang negara yang hilang. Sebab, harga jual Bank Mutiara tak bisa menutup keseluruhan uang negara yang telah dikeluarkan untuk menalangi Bank Century.

"Silahkan anda bilang Rp 4 triliunan harga jual Bank Mutiara itu harga terbaik. Namun selisih harga jual dan biaya PMS tak bisa dibilang sebagai biaya krisis,” ucapnya.

Lebih lanjut Misbakhun menjelaskan pendapatnya untuk menguatkan kerugian negara dalam kasus Century. Menurutnya, sejak Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) ditolak DPR, maka proses bailout Bank Century tak ada dasar hukumnya.

Selain itu, katanya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit atas  proses bailout untuk Bank Century juga menemukan pelanggaran aturan dan kerugian negara. Karenanya Misbakhun menyebut ada upaya LPS menggiring opini seolah-olah kerugian negara dalam penjualan Bank Mutiara adalah hal wajar.

"Bila anda tak kompeten dan masih berusaha menyembunyikan sesuatu, kami bisa merekomendasikan agar Pemerintahan baru membongkar semuanya," jelas Misbakhun.

Menjawab hal itu, Ketua Dewan Komisioner LPS, Heru Budiargo mengatakan, harga price to book value Bank Mutiara didasarkan pada perhitungan hanya Rp3,7 triliun. Tapi memang diakuinya bahwa selisih antara PMS Rp 8,8 triliun dengan harga jual Bank Mutiara ke J Trust sebesar Rp4 ,7 triliun masih besar.

Tapi dia memberi harapan, selisih itu masih bisa dikejar karena ada potensi recovery aset oleh LPS dari pengejaran aset eks pemilik Bank Century. "Perkiraan kami sekitar Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun. Ada satu yang besar di sebuah bank di Swiss, jumlahnya Rp 1,5 Triliun," ujar Heru.

Tapi, lanjutnya, usaha pengembalian harus panjang karena menyangkut hukum di domain negara lain seperti Swiss, Hongkong, dan beberapa lainnya. "Dalam konteks itu kami bekerja sama dengan pemerintah. Probability (kemungkinan, red) berapa persen. Masih terlalu dini bagi kami," ujar Heru.

Komisioner LPS lainnya, Siswanto, menambahkan bahwa proses tender penjuaan Bank Mutiara sudah dilaksanakan secara transparan dan melibatkan banyak pihak seperti PT Perusahaan Pengelola Aset, Dana Reksa, Kejaksaan Agung dan BPKP.

Dari 18 peminat awal, tersisa enam peminat akhir. Yakni J Trust, Hong Leong Bank Malaysia, Bank of China Hongkong, China Line, PT Bank BRI dan Artha Graha Network Group. Dari situ, yang terakhir menyampaikan penawaran harga hanya Bank of China Hongkong dan J Trust, sementara empat lainnya resmi menyatakan mundur.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement