REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai pemerintah Indonesia akan sulit mengabulkan lobi Australia yang meminta dua orang warganya tidak dieksekusi dalam pelaksanaan hukuman mati berikutnya.
"Ada tiga alasan bagi Presiden Jokowi untuk menolak lobi Australia tersebut, disamping pelaksanaan hukuman mati merupakan masalah kedaulatan dan penegakan hukum di Indonesia," kata Hikmahanto di Jakarta, Selasa.
Alasan pertama, lobi ditolak karena pemerintah tidak ingin dianggap diskriminatif terhadap warga dari negara lain, seperti Belanda dan Brazil. "Inkonsistensi berarti perlakuan yang berbeda yang harus dicarikan alasan," kata dia.
Kedua, bila lobi Australia dikabulkan Presiden Jokowi maka Presiden akan berhadapan dengan mayoritas publik Indonesia yang geram dan marah atas maraknya penyalahgunaan narkoba di Tanah Air. "Publik akan menganggap Presiden tidak memenuhi janji dan gagal dalam menyerap aspirasi," kata Hikmahanto.
Ketiga, apabila ada inskonsitensi dari Presiden Jokowi maka hal tersebut akan menjadi "bola liar" bagi dunia perpolitikan di Indonesia. Hikmahanto juga mengingatkan bahwa sampai saat ini hampir semua partai baik yang terafiliasi pada Koalisi Merah Putih (KMP) atau Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendukung kebijakan tegas Presiden Jokowi untuk melaksanakan hukuman mati.
Pemerintah Australia melalui Perdana Menteri Tony Abbott dan Menteri Luar Negeri Julia Bishop secara intensif melakukan lobi kepada pemerintah Indonesia, baik Presiden Jokowi maupun Menlu Retno Marsudi agar dua warganya tidak dieksekusi mati dalam pelaksanaan hukuman mati berikutnya.
Hal ini dilakukan setelah sebelumnya Kejaksaan Agung telah melaksanakan eksekusi terhadap enam orang terpidana mati, yang masing-masing berasal dari negara Indonesia, Brazil, Belanda, Malawi, Vietnam dan Nigeria. Pelaksanaan hukuman mati itu disesalkan pemerintah Brazil dan Belanda.