REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengemukakan rencana membeli sejumlah perangkat berteknologi tinggi untuk mendukung kegiatan riset kapal.
"Saya berkomitmen tahun ini atau tahun depan akan membelikan alat-alat riset kapal, tapi tentu saja nanti harus ada pertimbangan dahulu," ujar Unggul di Jakarta, Selasa (20/1).
Ia mengaku gagasan ini muncul setelah Kapal Riset Baruna Jaya 1 milik BPPT berpartisipasi pada operasi pencarian objek pesawat AirAsia QZ8501 selama 17 hari di Selat Karimata, Kalimantan Tengah.
Kegiatan evakuasi yang dilakukan Baruna Jaya 1 memberikan gambaran mengenai terbatasnya teknologi peralatan riset yang dimiliki Indonesia saat ini, dimana terdapat alat yang masih dipinjam dari luar negeri.
"Pinger locator saja yang termasuk peralatan penting dalam pencarian blackbox masih dipinjam melalui mitra kerja kita di Inggris," kata Unggul.
Namun, menurut ia, rencana pembelian alat-alat riset tidak akan disertai dengan penambahan kapal, hal ini dikarenakan kekuatan empat kapal yang telah dimiliki BPPT sejak 1990 diprediksikan masih bertahan selama sepuluh tahun lagi.
Sebelumnya, Baruna Jaya 1 telah dikerahkan BPPT ke dalam 'mission area' (daerah pencarian) sejak 30 Desember 2014 atas perintah Presiden Jokowi untuk mendeteksi keberadaan pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh pada 28 Desember 2014.
Kapal riset ini dilengkapi dengan sejumlah peralatan untuk mendeteksi objek yang tenggelam di bawah laut dengan menggunakan Multi Beam Echo Sounder, Side Scan Sonar, Magneto Meter, serta Remote Operated Vehicle secara bergantian.
Kolaborasi dari perangkat-perangkat tersebut telah berhasil menemukan sejumlah korban dan puing pesawat, salah satunya ekor pesawat AirAsia QZ8501 pada hari pencarian ketujuh dalam proses evakuasi yang dilakukan Kapal Riset BPPT tersebut.