REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenag, Abdul Rahman Mas'ud, menuturkan, poin pengaturan penyiaran agama di dalam draft RUU PUB merupakan lanjutan semangat dari regulasi sebelumnya. Yakni, surat keputusan bersama (SKB) Menag-Mendagri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan.
Sehingga, kata Abdul Rahman, RUU PUB mewarisi beberapa hal dari SKB tersebut, seperti definisi penyiaran agama serta tata cara penyiaran agama yang dibenarkan. "Semangat dasarnya, kerukunan dan tenggang rasa. Atau dalam bahasanya Menag kemarin, tepo seliro," ujar Abdul Rahman Mas'ud, Selasa (20/1).
Abdul Rahman melanjutkan, misal yang dilarang dalam penyiaran agama antarumat yakni, menggunakan bujukan agar orang berpindah agama, menyebarkan pamflet atau bentuk terbitan lainnya kepada kelompok beragama berbeda, serta melakukan kunjungan dari rumah ke rumah agar keluarga yang didatangi mendapatkan dakwah agama yang berbeda.
Adapun mengenai sanksi maupun hal-hal teknis lainnya dalam aturan penyiaran agama, kata Abdul Rahman, itu akan dibuatkan peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan undang-undang. Dalam pada itu, ujar Abdul Rahman, pembuatan PP akan mengayomi suara majelis-majelis agama mainstream.
"UU PUB nanti hanya akan beri rambu-rambu saja, mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh. Sedangkan, hal yang lebih teknis akan ada di PP," ujar Abdul Rahman Mas'ud.
Karenanya, Abdul Rahman menyatakan, masyarakat diharapkan memahami, proses penggodokan RUU PUB masih berlangsung hingga kini. Adapun hal-hal teknis pelaksanaan aturan tersebut, termasuk yang berkaitan dengan penyiaran agama, masih cukup jauh di depan.
Abdul Rahman sendiri mengakui, selama ini sudah berkomunikasi dengan Komisi VIII DPR, termasuk dengan menghadiri rapat dengan DPD, Kamis (22/1) nanti di Senayan, Jakarta. (c14)