Rabu 21 Jan 2015 03:49 WIB

Perkara Ini Dinilai Layak Disidangkan PTUN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang gugatan Tata Usaha Negara (TUN) yang dilayangkan PT Cladtek BI-Metal Manufacturing melawan PT Wijaya Karya (Wika) Tbk, kembali digelar di Pengadilan TUN, Jakarta, Selasa (20/1).

Dalam persidangan beragenda keterangan saksi ahli pihak pengugat PT. Cladtek, menghadirkan saksi ahli TUN yaitu DR Lintong Oloan Siahaan, yang juga dosen hukum di Universitas Pelita Harapan.

Lintong dalam kesaksiannya mengatakan bahwa sengketa gugatan PT Cladtek kepada PT Wika sudah tepat. Sebab proyek infrastruktur untuk pembangunan Terminal Gas di Matindok, Sulawesi Selatan yang kepemilikannya oleh PT. Pertamina EP dilakukan secara terbuka dengan mengundang masyarakat atau publik, maka sengketa ini masuk dalam gugatan TUN. "Kriteria keputusan TUN, sumber harus vertikal, dari atas kebawah merupakan perjanjian unilateral dan erga omnes yang merupakan lapangan hukum publik," kata Lintong dalam kesaksiannya di pengadilan TUN.

Dia menjelaskan sengketa administrasi merupakan sengketa dalam lapangan hukum publik, maka putusan hakim peradilan administrasi akan menimbulkan konsekuensi mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan yang mungkin timbul pada masa sekarang dan yang akan datang. Dalam hal ini pemerintah memberi kewenangan dengan membuat kebijakan-kebijakan. Kalau ada yang dirugikan bisa digugat, karena keputusan dengan pejabat negara.

Dengan pemberian tender dari PT WIKA kepada pihak lain tanpa diberikan ke penggugat tanpa kriteria-kriteria yang diberikan, maka hal itu bisa digugat ke TUN. "Untuk melihat apakah mereka tergugat pemerintah atau bukan, walupun bukan pemerintahan, melalui kriteria-kriteria tadi bisa digugat ke TUN. Urusan pemerintah bisa dilimpahkan dalam hal ini swasta," ucapnya.

Jadi kata dia putusan sebuah tender itu kewenangan publik berdasarkan garis vertikal. Kalau pemenang tender itu diputus bersifat unilateral atau sepihak (perusahaan swasta) maka bisa masuk dalam objek sengketa TUN. Kalau bilateral merupakan sengketa perdata, kalau gugatan ini bersifat unilateral atau sepihak. Walaupun swasta ini ranah hukum publik yang menyangkut kepentingan umum.

Dalam persidangan ini saksi ahli merasa geram ketika ditanya pihak tergugat melalui pengacara PT Wika yaitu Rivai Kusumanegara yang kerap berulang-ulang bertanya soal sengketa gugatan perdata. "Kalau itu bersumber dari publik (negara), maka masuk hukum publik (TUN) yang berlaku, bukan lagi hukum perorangan atau privat lagi," tegas saksi Lintong.

Karena merasa dicecar, majelis hakim yang dipimpin Nur Akti mengingatkan agar pihak tergugat tidak bertanya berulang-ulang. "Tolong tergugat biarkan saksi ahli menjelaskan," ujar hakim Nur Akti.

Sidang pun ditunda untuk dilanjutkan pada Selasa, 27 Januari 2015 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari pihak tergugat yakni PT Wika. Majelis hakim pun meminta agar dua saksi dan tiga ahli dari tergugat yang dihadirkan memiliki kompeten sesuai sengketa TUN tersebut.

Sidang gugatan ini berawal dari adanya indikasi kecurangan tender proyek infrastruktur pembangunan terminal gas di Donggi, Sulawesi Tengah dan Matindok, Sulsel. Sejak ditenderkkan oleh PT. Pertamina EP, maka proyek dua ladang gas tersebut menelan biaya senilai Rp 7,5 triliun yang dimenangkan oleh PT Rekayasa Industri (Rekind) dan PT Wika.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement