Rabu 21 Jan 2015 10:21 WIB

Keburu Nafsu Menghapus Islam Politik

Daftar partai yang berafiliasi dengan massa Islam.
Daftar partai yang berafiliasi dengan massa Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah/Wartawan senior Republika

''Agama (Islam) tak usah dibawa-bawa ke dalam politik!'' Jargon ala penasihat pemerintah kolonial Belanda Christian Snouck Hurgronje ini terus berdengung hingga sekarang, bahkan terasa akhir-akhir ini semakin kencang meski Pemilu 2014 sudah berlalu. Tuduhannya pun macam-macam, mulai dari sekadar guyon soal dilarangnya night club, lokalisasi penjaja seks, hingga tuduhan serius soal wacana teroris Islam hingga perang terhadap 'Islam' yang dibentuk ISIS.

Memang Hugronje sudah lama meninggal. Zaman sudah berganti dan kolonial sudah pergi. Namun, entah mengapa soal Islam politik terus dicurigai. Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1960-an ada jargon yang 'nyinyir' kepada gerakan Islam yang memperjuangkan ide politik (Islam politik). Saat itu munculah seruan: waspadalah kepada kaum sarungan! Slogan serupa pun banyak bermunculan saat itu. Salah satu contohnya adalah menyamakan para pemimpin pesantren yang punya lahan sawah luas sebagai setan desa.

Setelah, masa Orde Lama pimpinan Bung Karno lewat, hal yang sama juga terjadi. Pada akhir 1980-an, ketika terjadi perdebatan panas soal rancangan undang-undang peradilan agama, muncul juga sebutan sinis. Seorang petinggi intelijen yang sangat ditakuti menyebut bahwa saat ini ada gerilya kembali ke Piagam Jakarta. Arah tuduhan ini jelas bahwa umat Islam masih tetap memendam bara perjuangan hendak menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara Islam.

Dan, kini setelah tujuh belas tahun reformasi, tanda-tanda keinginan untuk menghapuskan 'Islam poitik' juga belum surut. Bahkan, keinginan itu terasa kuat setiap kali datang pemilu mulai dari tahun 1999-2014. Entah mengapa lembaga survei yang dalam pilpres selalu tepat dalam 'meramal' hitung cepat, ketika menyurvei partai Islam yang itu menjadi representasi terkuat dari Islam politik selalu mengatakan kekuatan ini akan mati atau terkubur dalam sejarah politik Indonesia.

Bumbu ini makin sedap ketika membaca pesan yang bersliweran di dunia maya yang juga tampak jelas bersorak-sorak ketika kekuatan Islam politik tersudut dan layu dibakar terik zaman.

                          ******

Terkait masih besarnya nafsu pihak tertentu untuk menghapus Islam politik, pengamat sosial keagamaan Dawam Rahardjo mengatakan itu adalah sikap yang bodoh (lihat wawancara—Red). Menurutnya, keinginan untuk menghapus kekuatan Islam politik adalah sikap yang buta akan sejarah mengenai peran dan jasa umat Islam dalam pendirian bangsa dan negara Indonesia.

Dawam secara terbuka mengatakan bila dirunut sumber kemunculan sikap ingin menghapus atau anti terhadap Islam politik, itu berasal dari negara-negara barat. Bahkan, sikap ini tampak jelas pada situasi yang terjadi pada saat sekarang. Barat tetap tak bisa bersikap ramah terhadap Islam.

''Mengapa mereka bersikap begitu. Ini karena umat Islam itu lama sekali berjuang melawan imperialisme barat. Tapi, perjuangan itu selalu kalah karena persenjataan yang dimiliki oleh umat Islam ketika melawan mereka lemah,'' katanya.

Dawam mengatakan, bila sampai Islam politik di Indonesia tidak ada lagi, negara ini dipastikan akan runtuh. Paling tidak pihak yang selama ini paling nyata dan kuat mendukung Pancasila dan UUD 1945 tidak akan ada lagi. Indonesia akan tinggal nama. Yang akan muncul hanyalah radikalisme yang meluas dan luar biasa. Saat itu, tak ada lagi yang bisa menahannya.

''Maka, sebagai satu-satunya reaksi yang masih dapat dilakukan untuk keluar dari kenyataan tersebut, umat Islam pun bangkit melakukan perlawanan dengan cara 'gerilya'. Ini adalah pilihannya bila Islam politk dihapuskan. Gerakan ini muncul karena memang mereka tidak punya kesempatan untuk tampil ke permukaan,'' katanya.

Dawam kemudian menyarankan agar selain membuka kembali sejarah mengenai pihak mana saja yang bersikap aktif ketika memperdebatkan dasar negara, publik pun harus bersedia arif dengan melihat kenyataan politik yang terjadi di negara jazirah Arab. Di sana, akibat Islam politik 'dihabisi', yang muncul hanyalah rezim diktator yang jelas antidemokrasi dan HAM.

''Lihatlah apa yang terjadi di Mesir, Tunisa, Aljazair, dan negara Arab lainnya. Sosialisme Arab yang dilakukan bersama rezim diktator ternyata hanya menghasilkan radikalisme. Kita tak boleh seperti itu,'' ujarnya.

Terkait soal penghapusan Islam politik ada artikel yang menarik di Majalah Ulumul Qur'an Vol.X/No.1/TH KE-25/2014. Tulisan ini karya pikir pendiri Partai Nahdah (Partai yang pada tahun 2011 memperoleh kursi mayoritas di Parlemen Tunisa): Rachid Al-Ghannuachi. Dia mengatakan karena sangat membenci Islam politik, maka rezim di negara itu kemudian menjiplak secara penuh sekularisme ala Prancis di Eropa. Akibatnya, semua interpretasi agama ditafsir ulang sesuai dengan kepentingan rezim.

Tak hanya itu, pihak penguasa rezim di Tunisia yang saat itu dijabat Presiden Bourguiha berani mengajak rakyatnya untuk tidak menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Bahkan, ia memerintahkan agar para pegawai negerinya membatalkan puasanya. Dalam salah satu pidatonya, ia (presiden) menertawakan kepercayaan akan adanya surga dan neraka. Ia juga menertawakan Alquran dan menolak keajaiban para nabi.

''Presiden Bourguiba menutup Al-Zaytona, sebuah universitas Islam yang terkenal dan menetapkan larangan berhijab. Baik ia maupun istrinya berusaha tampil di publik mengenakan baju renang dan secara terbuka merasa bangga memiliki banyak hubungan di luar nikah. Selanjutnya, ia membatasi jumlah penduduk yang diperbolehkan menunaikan ibadah haji setiap tahunnya. Hal yang terburuk adalah ia menasionalisasikan sumbangan institusi-institusi agama,'' kata Rachid.

                        ******

Lalu apa hasilnya? Rachid mengatakan, keadaan oligarki pun muncul. Kekuasaan mereka monopoli. Akibatnya, pemberontakan sosial pun bermunculan. Penjara-penjara tidak dipenuhi para kriminal, tapi menjadi tempat tinggal para penulis, seniman, cendekiawan, atlet, dan berbagai orang berbakat, baik itu yang Islamis, nasionalis, sayap kiri, atau sebaliknya. Mereka masuk ke dalam penjara atas dasar 'kejahatan mimimpikan demokrasi'. Hasil lainnya adalah pecahnya berbagai bentuk kekerasan yang ekstrem.

''Para elite penguasa yang telah mendorong kawasan itu menuju perang sipil, kebangkrutan ekonomi, disintegrasi sosial, kehancuran moral, dan semakin tunduk pada kekuasaan Barat. Pada abad yang tersiksa ini, negara Arab telah berkembang menjadi sebuah mesin represi yang mempunyai misi menghapus identitas masyarakat serta mencabutkannya dari hubungan-hubungan sejarah dan peradaban,'' kata Rachid.

Kalau begitu, mudahan-mudahan para pembenci Islam politik insaf akan kekeliruannya dan mau belajar mengenai apa yang telah terjadi di negara jazirah Arab. Sebab, hanya keledai yang terjatuh dalam lubang yang sama hingga dua kali! Walahu'alam.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement