Kamis 22 Jan 2015 16:03 WIB

Kisah Pensiunan Petinggi BIN Jabat Presdir Freeport Indonesia

Rep: C85/ Red: Erik Purnama Putra
Mantan wakil kepala BIN Marsekal Muda (Purn) Maroef Sjamsoeddin.
Foto: BIN
Mantan wakil kepala BIN Marsekal Muda (Purn) Maroef Sjamsoeddin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marsekal Muda (Purn) Maroef Sjamsoeddin yang belum genap satu pekan menduduki jabatan presiden direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia, mengaku tidak pernah memimpikan posisinya saat ini.

Maroef yang dulu pernah ikut terlibat dalam operasi pengamanan di Papua saat terjadi mogok besar-besaran pada 2011, mengungkapkan, jabatannya saat ini memiliki tantangan yang sangat besar.

Itu lantaran Freeport tengah dihadapkan isu yang sedang bergulir panas, mulai masalah ancaman larangan ekspor dan perpanjangan kontrak. "Ini bukan cita-cita saya. Cita-cita saya ya to be good and professional soldier," kata Maroef di Jakarta, Kamis (22/1).

Dia mengaku mendapat kepercayaan bos Freeport McMoran Jim Bob Moffett untuk menduduki posisi teratas di Freeport Indonesia. Menurut Maroef, Jim mengajaknya berbicara tanpa pernah melihat latar belakangnya sebagai pensiunan TNI AU dan BIN.

Jim, kata dia, murni melihat kemampuannya untuk memimpin Freeport ke depan. "Saya tidak peduli dengan background itu. Saya perlu kamu untuk duduk di situ," ujar Maroef menirukan pernyataan Jim Bob.

Maroef menceritakan bagaimana awal mula dirinya bisa mengenal sosok Jim Bob untuk kemudian terpilih menjadi pimpinan perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di Indonesia ini. Pada 2011, terjadi pemogokan di operasional pertambangan Freeport.

Saat itu, pemerintah mengambil langkah bahwa BIN harus selesaikan masalah itu. "Saya melakukan negosiasi dengan karyawan dan manajemen untuk mencari akar permasalahan. Saya hanya gunakan cara-cara persuasif, komunikasi yang terbuka dengan kedua belah pihak. Kalau saya tidak salah, dengan cara komunikasi tersebut dengan sentuhan kemanusiaan, saya bertemu dengan yang mogok."

Dia melanjutkan, "Waktu itu masih aktif sebagai perwira. Saya mencari tahu kehidupan mereka karena waktu itu ada protes makan dan fasilitas tidak enak. Saya dalami kehidupan karyawan. Sentuhan manusiawi bisa menjadi jembatan mempertemukan akar masalah dari masing-masing. Alhamdulillah, tiga minggu mereka kembali bekerja. Kalau terus mogok, berapa kerugian pemasukan ke negara? Kan gak ada, berhenti," jelas Maroef.

Dua permasalahan yang harus diselesaikan Maroef, saat ini, adalah ancaman pemerintah untuk menghentikan izin ekspor konsentrat Freeport. Marouf rencananya akan segera meneken kontrak dengan PT Petrokimia Gresik untuk kerjasama guna pembangunan smelter baru Freeport di Gresik. Freeport akan menggunakan nyaris 100 hektar lahan milik Petrokimia Gresik untuk membangun smelter.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement