REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jauh-jauh dari Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Onah (45 tahun) bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga pegawai bank di kawasan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten. Ia berani meningalkan suami dan dua anaknya di kampung halaman karena tergiur upah Rp 1 juta per bulan.
Tugas Onah seabrek, mulai dari mencuci, mengepel, memasak hingga mengasuh layaknya baby sitter bagi satu anak majikannya yang berumur tiga tahun dan sedang nakal-nakalnya. "Majikan saya suami-istri sama-sama kerja di Jakarta. Saya baru bisa istirahat tidur setelah menjelang tengah malam dan subuh harus sudah bangun untuk memulai pekerjaan rutin," katanya.
Pada akhir bulan pertama ia bekerja, Onah sudah sumringah karena akan mendapatkan gaji perdana. Ia sudah hitungan-hitungan, berapa yang akan dikirim ke kampung dan berapa yang akan diselipkan untuk simpanan di dompet. "Rencananya saya mau ambil sedikit saja untuk pegangan di sini, sebagian besar untuk dikirim ke keluarga di kampung," katanya.
Tetapi betapa kecewanya, upah yang didapat dari sang majikan tidak sesuai perjanjian. "Saya hanya dikasih Rp 800 ribu. Tekor sampai Rp 200 ribu, sangat berarti bagi saya," kata Onah.
Majikannya beralasan tidak memberi upah penuh karena Onah dianggap masih dalam masa percobaan. Setelah tiga bulan, kata dia, baru akan mendapatkan gaji penuh.
Onah berontak dengan minta pulang. Suaminya juga mendukung sikapnya. "Kalau gaji Rp 800 ribu tidak usah pergi jauh-jauh, di Garut saja bisa dapat segitu," kata sang suami. Garut adalah sebuah daerah yang bertetangga dengan Tasikmalaya.
Namun dua minggu setelah kepulangannya, Onah kembali muncul dan bekerja di majikannya yang tinggal di kawasan Pamulang itu. "Waktu pulang saya cuma dikasih ongkos buat bus, gaji saya ditahan dan tak dikirm-kirim. Akhirnya saya kembali karena butuh uang," katanya.
Kini Onah sudah memasuki kerja hampir tiga bulan dengan gaji masih didiskon Rp 200 ribu. Ia berharap, selepas tiga bulan, bisa menerma upah penuh. "Mudah-mudahan janji majikan saya tidak meleset lagi," katanya.
Perjanjian dengan majikannya, sebagai mana umumnya penggunaan PRT di negeri ini, tidak tertuang secara hitam di atas putih. "Tidak ada kontrak tertulis, sifatnya hanya kekeluargaan saja," kata Onah.
Dia belum paham adanya peraturan Menteri Tenaga Kerja yang mewajibkan adanya kontrak tertulis penggunaan PRT. Sejauh ini juga, keberadannya di kompleks perumahan sang majikan, belum melapor ke RT/RW setempat.
"Oh, begitu ya? Tapi saya sungkan untuk membuat kontrak tertulis kalau datangnya bukan (inisiatif) dari majikan sendiri," kata Onah ketika diberi tahu tentang klausul-kalusul tentang PRT dalam permenaker itu.