REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Perayaan empat tahun revolusi Mesir pada Ahad (25/1), tampak lebih sepi dibandingkan tiga tahun terakhir. Bukan hanya disebabkan berkurangnya dukungan pada Ikhwanul Muslimin, tapi kematian Raja Saudi juga membuat Mesir menunda perayaan yang menandai pemberontakan penggulingan Presiden Husni Mubarak.
Seperti diberitakan Ahram Online, Kementerian Dalam Negeri Mesir menyatakan akan membatalkan perayaan Revolusi Mesir. Hal ini dilakukan mengingat Mesir sedang dalam masa berkabung atas meninggalnya Raja Abdullah pada Jumat, (23/1) lalu.
Meski sepi perayaan, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sissi memuji pengorbanan para martir yang tewas dalam pemberontakan 2011. Berbicara pada Sabtu (24/1), Sisi menekankan bahwa darah yang tumpah baik dari korban cedera maupun tewas merupakan dorongan untuk Mesir bergerak maju dan mengerahkan segala upaya untuk negara.
"Untuk memenuhi tuntutan revolusi, roti kebebasan dan keadila sosial, harus ada revolusi dalam diri kita yang akan mendorong kemajuan untuk kita dalam segala hal," kata Sisi.
Dalam pidatonya tersebut, Sisi juga sempat menyampaikan rasa dukanya akan kematian Raja Abdullah. Untuk menghormati kematian Raja Abdullah itu, Sisi menetapkan tujuh hari masa berkabung nasional di Mesir. "Arab dan dunia Muslim kehilangan orang yang bijaksana," katanya.
Di sisi lain, seruan untuk menggelar aksi protes dan demonstrasi untuk memperingati perayaan revolusi telah diabaikan. Ikhwanul Muslimin diperkirakan akan menggelar aksi protes dengan sekutunya, namun sepertinya aksi tersebut terbatas dan tidak dalam jumlah besar.
Sejak penggulingan Presiden Muhammad Mursi pada Juli 2013, para pendukung Mursi kerap melakukan protes terhadap apa yang mereka gambarkan sebagai 'kudeta militer'. Namun tindakan keras yang sistematis pada kelompok tersebut telah melemahkan mobilisasi kelompok. Tindakan keras yang terjadi terus menerus mengurangi kemampuan kelompok Ikhwanul Muslimin untuk mendorong aksi protes menjelang 25 Januari.
Al-Monitor menuliskan, memasuki tahun keempat mimpi revolusi dan harapan membangun masyarakat baru Mesir telah memudar. Tahun lalu, perayaan diwarnai pertumpahan darah, ketakutan dan pembunuhan. Dua kekuatan utama menyatakan perang sengit. Tapi mulai tahun ini, militer tampaknya lebih kuat dibandingkan Ikhwanul Muslimin. Bahkan, mereka bertekad untuk tak gagal dalam kudeta, sementara Ikhwanul Muslimin semakin dilupakan.
Sementara itu, dukungan untuk Presiden Sisi terus datang, baik dari mitra Arab Saudi maupun Uni Emirat Arab. Mereka menawarkan dukungan tanpa syarat pada Sisi. Meski begitu, pada dasarnya Arab Saudi memiliki beberapa motif dalam menawarkan dukungan. Saudi mengutuk ide revolusi terutama kemungkinan keberhasilan mereka dicapai secara damai.
Saudi juga menginginkan pengaruh politik berimbas baik pada stabilitas ekonomi di tingkat regional. Posisi Saudi tak banyak berubah sejak hari pertama Revolusi pada 25 Januari 2011. Terutama karena gaya terakhir pemerintah militer Mesir yang tak menimbulkan kekhawatiran di tingkat regional. Adapun dukungan dari UEA didorong oleh keinginan untuk memperoleh pasar yang lebih besar dalam berinvestasi.
Sementara Ikhwanul Muslimin dianggap tak lagi memiliki sesuatu yang ditawarkan di tingkat regional. Rezim militer telah berhasil menghancurkan dan membongkar infrastruktur. Selain itu, rezim ini juga telah berhasil memanfaatkan gejolak regional dengan retorika keamanan. Mereka memperingatkan warga Mesir, bahwa Mesir bisa saja berubah menjadi Suriah atau Irak. Menggunakan retorika yang sama, rezim juga menggunakan ancaman dalam negeri mengacu pada perang di Sinai terhadap organisasi Ansar Bayt al-Maqdes.
Revolusi Mesir 2011 ditandai dengan aksi demonstrasi besar-besaran di seluruh Mesir. Demonstran menuntut agar Presiden Husni Mubarak yang telah berkuasa di Mesir selama 30 tahun mundur dari jabatannya. Setelah demonstrasi selama 18 hari, akhirnya pada 11 Februari 2011 Husni Mubarak mundur dari jabatannya.