Rabu 28 Jan 2015 11:36 WIB

Ini Hukuman Penerima Gratifikasi

korupsi(ilustrasi)
Foto: www.theepochtimes.com
korupsi(ilustrasi)

Oleh: Muhbib Abdul Wahab 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu al-Humaid as-Sa'idi RA meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah mempekerjakan seseorang untuk mengambil dan mengumpulkan zakat di sebuah perkampungan. Ketika datang menemui Rasulullah SAW, ia berkata, “Yang ini untukmu (Rasulullah) dan yang ini adalah hadiah untukku.”

Rasulullah SAW langsung naik mimbar, lalu memuji Allah SWT, kemudian menyatakan, “Bagaimana gerangan pekerja yang kami utus untuk mengambil dan mengumpulkan zakat, lalu datang sambil menyatakan, “Yang ini untukmu, sedangkan yang ini adalah hadiah untukku," “Mengapa orang itu tidak duduk di rumah ayah atau ibunya, lalu ia menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?” Demi Zat yang diriku ada dalam genggaman-Nya, lanjut Rasul, orang itu tidak datang pada hari kiamat kecuali membawa apa yang dihadiahkan kepadanya dalam keadaan dibebankan pada lehernya, ada kalanya hadiah itu berupa unta, sapi, atau kambing berikut suara masing-masing." Rasul kemudian mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat rambut kedua ketiaknya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut juga berisi penegasan Rasulullah bahwa menerima hadiah (gratifikasi) karena terkait dengan jabatan dan kewenangan tertentu itu dilarang dan ancaman hukuman penerimanya di akhirat sangat keras, yaitu dikalungi api yang berasal dari gratifikasi yang diterimanya.

Di dalam Alquran, dijumpai kata suht yang identik dengan korupsi dan menerima gratifikasi. Esensi suht adalah memakan makanan haram yang membinasakan. Kata ini juga digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus dalam melahap makanan. Orang yang rakus makan-makanan tanpa peduli kehalalan dan keharamannya dan tanpa peduli asal-usulnya makanan itu dianalogkan dengan binatang yang rakus tersebut sehingga ia binasa oleh perbuatannya sendiri. “Dan, kamu akan melihat banyak di antara mereka (orang Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS al-Maidah 5: 62).

Menurut Ibn Katsir, akl al-suht dalam ayat tersebut mengandung arti makan harta dengan cara batil, ilegal, atau tidak dibenarkan menurut hukum Islam maupun hukum positif. Bahkan, Ibn Mas'ud (wafat 32 H) menyamakan suht dengan pemberian gratifikasi kepada hakim agar perkaranya “dimenangkan”. Sementara itu, Abu Wail Syaqiq ibn Salamah, salah seorang tabi'in, menyamakan suht itu dengan risywah (penyuapan, rasuah). Abu Wail menyatakan bahwa hakim yang menerima gratifikasi berarti dia telah memakan harta haram (akl al-suht). Jika menerima suap, berarti dia telah melakukan hirabah (perampasan harta kekayaan dengan menggunakan senjata) dan ia dianggap telah kufur.

Pemberian gratifikasi oleh seseorang kepada hakim, polisi, jaksa, pejabat yang berwenang, dan sebagainya dengan maksud mendapatkan keputusan yang sesuai dengan yang diinginkannya atau kebijakan yang menguntungkan dirinya dapat dipastikan  merupakan rasuah. Oleh karena itu, patut menjadi teladan kita semua bahwa Umar ibn al-Khaththab melarang para pejabat pemerintahan di masanya menerima gratifikasi dalam bentuk apa pun karena termasuk risywah dan dapat merusak sistem penegakan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.

Perlu dipahami bahwa pelaku tindak korupsi, termasuk penerima gratifikasi atau rasuah, dan lainnya dapat dikenakan hukuman hirabah. “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (QS al-Maidah/5: 33)

Pelaku korupsi, rasuah, atau penerima hadiah sebagai sogokan dari pihak yang berkepentingan, baik urusan bisnis, ekonomi, maupun sosial politik juga dapat diberikan sanksi sosial yang dapat memberi efek jera yang bersangkutan. Contoh hukuman sosial adalah seperti yang pernah dilakukan Abdullah ibn 'Umar. Ia pernah membesuk Ibn Amir yang sedang sakit. Beliau hanya membesuk dan tidak bersedia mendoakan Ibn Amir karena diduga kuat telah melakukan kejahatan berupa korupsi. Peristiwa ini juga dimaknai bahwa Ibn Umar tidak menshalatkan jenazah koruptor. Ketika sedang sakit saja beliau tidak bersedia mendoakan, apalagi pada saat meninggal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement