Senin 02 Feb 2015 07:48 WIB
Polri vs KPK

Konflik KPK-Polri, Ujian bagi Jokowi

Presiden Joko Widodo.
Foto: Antara
Presiden Joko Widodo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang 100 hari masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo dihadapkan pada sebuah tantangan besar.

Perseteruan antara dua lembaga penegak hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri kembali terjadi untuk ketiga kalinya setelah sebelumnya pernah terjadi hal serupa pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kontroversi bermula pada 9 Januari ketika Presiden Joko Widodo memilih untuk mencalonkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon kapolri sesuai usulan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melalui surat yang dikirimkan ke DPR. Berbagai pihak menilai penunjukkan ini merupakan intervensi dari partai yang mengusung Jokowi menjadi presiden karena Budi pernah menjadi ajudan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri semasa pemerintahannya.

Budi juga merupakan sosok yang dianggap tidak bersih karena diduga terlibat dalam kasus rekening gendut, namun tuduhan tersebut telah dinyatakan tidak benar setelah diselidiki oleh Polri.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan salah satu pihak yang memprotes keras penunjukkan Budi Gunawan. Pasalnya penunjukkan Budi dilakukan tanpa melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menilai rekam jejaknya seperti yang presiden lakukan pada waktu pemilihan calon menteri.

Memang tidak ada peraturan yang mengatur bahwa pemilihan pejabat setingkat kapolri harus melewati seleksi rekam jejak KPK dan PPATK, tetapi menurut ICW, jabatan kapolri sebagai ujung tombak penegakkan hukum dinilainya sangat penting. Oleh karenanya calon kandidat kapolri haruslah memiliki rekam jejak yang bersih.

Jelang uji kelayakan dan kepatutan calon kapolri di DPR, KPK membuat keputusan yang mengejutkan dengan menetapkan Budi sebagai tersangka kasus dugaan transaksi tak wajar. Status tersangka yang diberikan kepada Budi membuat sebagian masyarakat dan aktivis antikorupsi semakin tidak yakin dengan rekam jejak Budi sehingga memunculkan berbagai desakan agar penunjukkan Budi sebagai calon kapolri dibatalkan atau diganti.

Di tengah kontroversi ini, Komisi III DPR yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon kapolri ternyata sepakat menyetujui Budi sebagai kapolri.

Jumat keramat Polri untuk KPK

Kisruh KPK-Polri mulai mencuat ketika tiba-tiba Badan Reserse Kriminal Polri di bawah Kabareskrim baru Irjen Budi Waseso melakukan aksi pada Jumat (23/1) pagi dengan menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat sedang pulang usai mengantar anaknya sekolah.

Menurut penyidik Polri, Bambang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan memerintahkan saksi untuk memberikan kesaksian palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada 2010. Saat itu, Bambang menjadi pengacara salah satu calon yang bersengketa.

Berbagai kalangan pun langsung mengecam penangkapan tersebut. Para pegiat antikorupsi dan masyarakat berduyun-duyun mendukung KPK dan meminta Polri untuk melepaskan Bambang. Beberapa diantaranya bahkan datang dan bertahan di gedung KPK untuk memberikan dukungan. Sementara di sosial media hashtag #SaveKPK menjadi trending topic yang menunjukkan besarnya dukungan para pengguna Twitter terhadap KPK.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai penangkapan ini bermuatan politik. Ia berharap Polri memiliki sikap yang independen sebagai institusi penegak hukum. "Saya berharap Polri memiliki sikap mandiri dan tidak mudah dipolitisasi oleh kepentingan politik dari golongan tertentu dalam menangani kasus pidana," kata Widodo Umar.

Sementara pengamat hukum dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Muchtar juga menilai kasus Bambang tidak layak dan cenderung dicari-cari. "Itu kan kerja lawyer. Masak kerja lawyer dianggap tindak pidana? Kalau itu dipidanakan, maka semua lawyer dipidana dong? Kasus itu bukan perkara pidana tapi dibuat seakan-akan kasus pidana," katanya.

Menyusul status tersangka Bambang, beberapa pimpinan KPK lainnya pun juga dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh berbagai pihak. Ketua KPK Abraham Samad dilaporkan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan keterlibatan politik yang dilakukan Samad sebelum kontestasi Pilpres 2014. Sementara Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan ke polisi oleh pemilik saham perusahaan pengelola hasil hutan PT Daisy Timber di Berau, Kalimantan Timur.

Selanjutnya pimpinan KPK lainnya, Zulkarnaen juga dilaporkan terkait dugaan menerima gratifikasi saat menyidik kasus korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada 2008. Ketika itu Zulkarnaen masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Dengan adanya laporan dari berbagai pihak terkait para pejabat KPK, Zainal meminta penyidik Polri untuk bekerja secara profesional dan tidak melakukan kriminalisasi. "Sekarang tergantung polisi. Polisi menangani perkaranya secara layak atau tidak? Secara profesional nggak?" kata dia.

Menurut dia, wacana agar para pimpinan KPK mendapat hak imunitas layak untuk dipertimbangkan. Cara ini, dikatakannya bermanfaat agar tidak menghambat kerja para pimpinan KPK dalam membasmi para koruptor. "Harusnya anggota KPK juga mendapat hak imunitas yang serupa didapat oleh anggota DPR dan anggota Ombudsman," kata Zainal.

Presiden bingung

Perseteruan KPK-Polri dan tekanan publik yang tinggi membuat Presiden Jokowi membentuk Tim Konsultatif Independen untuk membantu mengatasi kisruh dua lembaga tersebut.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago menilai pembentukan tim ini sebagai wujud kebingungan Jokowi menghadapi kisruh KPK-Polri. "Dengan adanya Tim Sembilan ini menjelaskan ke publik bahwa presiden betul-betul kehilangan akal dan kebingungan menyelesaikan masalah ini," kata Pangi atau yang akrab disapa Ipang ini.

Presiden saat ini sedang menghadapi dilema karena setelah Budi lolos uji kepatutan di DPR, kini tergantung presiden untuk memutuskan apakah akan melantik Budi sebagai kapolri atau tidak.

Menurut dosen politik ini, polemik pemilihan kapolri seharusnya tidak perlu serumit ini bila presiden telah bersikap tegas sedari awal. "Kalau dari awal Jokowi tegas, dia katakan tidak, mungkin nama Budi nggak akan sampai ke DPR," ujarnya.

Ia mencatat bahwa Jokowi telah menunjuk pejabat-pejabat negara dengan rekam jejak yang kurang bersih dan beberapa diantaranya berasal dari partai pendukung mulai dari Jaksa Agung hingga para anggota Wantimpres. Para pejabat tersebut seharusnya berasal dari kalangan profesional dan berpengalaman, tetapi presiden malah menunjuk sosok dari kalangan partai dan pebisnis.

"Jan Darmadi (Partai Nasdem) orang yang bermasalah, Rusdi Kirana (PKB) bukan seorang negarawan. Seharusnya anggota-anggota wantimpres itu bukan orang sembarangan tapi harus dipilih orang-orang yang negarawan. Mereka ini boro-boro ngomongin negara, selama ini saja bicaranya bisnis," katanya.

Pemilihan orang-orang yang integritasnya dinilai kurang ini, menurut Ipang, karena Jokowi masih tersandera oleh parpol dan ketua umumnya. Ia menyayangkan sikap presiden yang dinilainya terlalu menuruti keinginan Megawati.

Dalam 100 hari masa kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Ipang menilai politik balas budi masih mewarnai pemerintahan saat ini dan sektor penegakkan hukum lemah karena adanya indikasi pelemahan KPK.

"Kasus ketiga setelah Jaksa Agung dan Wantimpres yakni ketika penunjukkan BG (Budi Gunawan) yang terkesan dipaksakan, ini jelas kehendaknya partai koalisi (KIH)," katanya.

Hal tersebut juga dikuatkan dengan pernyataan Ketua Tim Konsultatif Independen Buya Safii Maarif. Buya menyatakan pengajuan Komjen Budi sebagai Kepala Polri bukan inisiatif Presiden Jokowi. Namun dia enggan menjelaskan pernyataan itu lebih lanjut. Pernyataan tersebut disampaikan Buya setelah tim yang ia pimpin memberikan rekomendasi kepada presiden.

Menurut Ipang, sebaiknya Jokowi tidak memaksakan diri untuk melantik Budi, terlepas dari keputusan DPR yang sudah menyetujui pencalonan Budi sebagai kapolri. Ia menambahkan sebaiknya jalan kompromi lebih diutamakan ketimbang tetap menjalankan prosedur sesuai aturan yang hasilnya tidak disukai rakyat.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement