REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemberian hukuman mati di Indonesia kembali dikritisi karena dinilai bisa menjadi titik lemah dalam diplomasi antarnegara, terutama terkait negoisasi buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri.
"Kemudian, eksekusi itu jadi sandera bagi pemerintah Indonesia untuk membebaskan buruh migran Indonesia yang juga terancam hukuman mati di luar negeri," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Selasa (3/2).
Intinya, ia meminta pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman mati karena bisa menjadi bukti lemahnya komitmen pemerintah dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia, terutama hak hidup.
Anis mengatakan, ada 380 buruh migran Indonesia di berbagai negara tujuan yang saat ini terancam hukuman mati. Dengan masih berlakunya hukuman mati di Indonesia, lanjutnya, akan menyulitkan upaya advokasi pembelaan dan pembebasan ratusan buruh migran tersebut.
"Selama ini kita negosiasi, negara lain juga pasti akan lihat bagaimana eksekusi di Indonesia. Jadi itu menurunkan posisi pemerintah Indonesia dalam membela secara all out terhadap warga negara atau buruh migran di luar negeri yang terancam eksekusi mati," ujarnya.
Menurut Anis, eksekusi mati tidak sesuai dengan komitmen pemerintah yang tertuang dalam Nawacita, yaitu bahwa negara akan hadir untuk melindungi segenap warga negara Indonesia yang sedang bekerja di luar negeri. Migrant Care pun memberi rapor merah untuk pencapaian 100 hari kinerja pemerintah Jokowi-JK dalam hal ini.
"Jadi, komitmen dalam Nawacita untuk menjunjung HAM harus dipegang," kata Anis.
Selain eksekusi mati, Migrant Care juga menyoroti masalah keadilan gender dalam kebijakan migrasi, birokrasi dan pelayanan buruh migran Indonesia.
Secara institusional, kata Anis, belum ada perubahan yang signifikan dan reformasi birokrasi di eselon satu hingga pelaksana lapangan di Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI.