Rabu 04 Feb 2015 18:00 WIB

Harga CPO Merosot, Pemerintah Didesak Turun Tangan

Ketua Umum Aprobi MP Tumanggor
Foto: aprobi
Ketua Umum Aprobi MP Tumanggor

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Para pengusaha kelapa sawit mengirimkan sinyal lampu kuning tentang perkembangan industri crude palm oil (CPO) yang terus mengalami penurunan.

Selain disebabkan harga komoditas lainnya seperti kedelai dan bunga matahari (sun flower) yang sedang merangkak naik di negara penghasil, penurunan harga tersebut tak lepas dari harga minyak dunia yang terus merosot.

“Perusahaan-perusahaan CPO di Indonesia akan  menghentikan pasokan biodieselnya ke Pertamina. Mereka mengeluhkan harga jualnya kini jauh di bawah biaya produksi,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Bioefuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor, Rabu (4/2).

Fatalnya, kondisi ini juga memukul program mandatory bahan bakar nabati (BBN) sebesar 10 persen yang tak lagi ekonomis. Padahal, ada 11 perusahaan CPO yang memproduksi biodiesel hingga 5,2 juta ton yang menyuplai ke Pertamina.

Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat hingga 7 juta ton tahun 2015 seiring dengan adanya 2-3 perusahaan CPO yang memproduksi biodiesel.

Dengan kondisi saat ini, kata Tumanggor, dengan turunnya harga solar yang awalnya sekitar 100 dolar AS menjadi 60 dolar AS dan sekarang turun lagi menjadi 50 dolar AS, maka harga solar lebih murah.

Namun, selama ini produsen Fatty Acid Methyl Ester  (FAME) menyuplai bahan baku yang dicampur dengan solar untuk biodiesel harganya tidak mengikuti harga solar. Selama ini, pemerintah selalu berpatokan pada Mean Of Platts Singapore (MOPS).

“Kita mengikuti karena diinstruksikan oleh Wakil Presiden dan juga saat itu masih ada margin. Namun, kita tidak memperhitungkan bahwa harga solar akan jeblok seperti saat ini,” ujarnya.

Sebenarnya sejak dulu, Aprobi sudah protes akan ketentuan MOPS ini. Nah, untuk kondisi harga CPO saat ini, jika ketentuan MOPS tersebut tetap diikuti maka banyak produsen FAME akan mengalami kerugian.

“Dalam empat bulan terakhir ini hampir semua produsen biodiesel FAME berdarah-darah mengalami kerugian,” urai Tumanggor.

Tak tanggung-tanggung, ia  menyebut kerugian yang diderita produsen FAME antara 275-350 dolarAS per ton.

Tumanggor khawatir, jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, kondisi yang sama seperti tahun 2009 ketika harga CPO menyentuh level 300 dolar AS per ton membuat semua produsen biodiesel menghentikan suplai ke Pertamina.

 “Kita tidak ingin hal tersebut terjadi lagi,” harap Tumanggor.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement