REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Mahkamah Agung (MA) membatalkan seluruh materi Surat Edaran Menkumham Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 tentang Tata Cara Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
SE yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Amir Syamsuddin itu dinilai membatasi penerapan PP 99/2012 terkait pemberian remisi.
Peneliti ICW Emerson Yuntho mengatakan, PP 99/2012 merupakan salah satu wujud keberpihakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Aturan tersebut membatasi syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Remisi hanya diberikan bagi narapidana yang bersedia menjadi justice collaborator dan telah membayar lunas denda dan pidana uang pengganti.
Selain remisi, PP itu juga mengatur ketat narapidana korupsi yang ingin menerima pembebasan bersyarat. Ada empat syarat yang harus dipenuhi narapidana. Pertama, bersedia menjadi justice collaborator. Kedua, sudah menjalani dua per tiga masa midana. Ketiga, sudah menjalani asimiliasi minimal satu per dua dari masa pidana, dan keempat mendapat kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Namun SE Menkumham tahun 2013 itu justru bertolak belakang dengan PP. SE membatasi penerapan PP dimana yang terikat PP adalah narapidana kejahatan luar biasa yang vonisnya berkekuatan hukum tetap setelah 12 November 2012," kata Emerson di Gedung MA, Jakarta, Kamis (5/2).
Menurut Emerson, SE Menkumham tersebut berimplikasi adanya dua regulasi yang menjadi dasar hukum pemberian remisi dan bebas bersyarat bagi narapidana korupsi. Yakni PP 99/2012 dan SE Menkumham Tahun 2013.
"Penerapan dua regulasi ini menunjukkan disharmonisasi dan tumpang tindih. PP sudah mengatur ketat bagi semua narapidana korupsi, tapi SE malah membatasi hanya diberlakukan bagi narapidana yang vonisnya inkrah setelah tahun 2012," ujarnya.
Akibatnya, lanjut Emerson, hingga Agustus 2014 pemerintah telah mmeberikan dua kali remisi kepada napi korupsi. Yakni remisi Idul Fitri dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurutnya, jika remisi terus menerus diberikand engan persyaratan yang longgar maka potensial besar bagi narapidana korupsi untuk bebas dalam waktu jauh lebih singkat dari masa pidananya.
"Contohnya pada Natal kemarin, ada empat napi korupsi di Lapas Sukamiskin menerima remisi. Ada Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Haposan Hutagalung dan Samadi Singarimbun," jelas Emerson.
ICW menurut Emerson sudah melayangkan somasi kepada Kemenkumham pada 12 Januari 2015 lalu. Meminta Menkumham Yasonna Laoly membatalkan SE tersebut. Namun hingga saat ini belum ada respon dari Kemenkumham.
MA, Emerson melanjutkan, diharapkan bisa membatalkan SE tersebut. Dengan begitu, tidak ada lagi koruptor dengan mudah mendapat remisi maupun pembebasan bersyarat.
"Jangan memberikan keistimewaan untuk koruptor, ini justru tidak menerikan efek jera dan jadi preseden buruk," ungkapnya.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W Eddyono menambahkan, SE Menkumham sebagai aturan yang posisinya lebih rendah bertolak belakang dengan PP 99/2012.Apa lagi SE tersebut dikeluarkan di tengah polemik kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan.
"Alasannya karena lapas over kapasitas sehingga PP 99 dievaluasi. Tapi kan ini tidak tepat, karena koruptor dan narapidana kejahatan berat itu harus diatur ketat remisinya kapanpun vonisnya dikeluarkan," kata Supriyadi.