REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fahira Idris meminta pemerintah punya strategi agar kejadian buku 'Saatnya Aku Belajar Pacaran' tidak terulang lagi. Selama ini, masyarakat yang selalu awas dan menemukan buku-buku berkonten berbahaya beredar di toko-toko buku.
Pemerintah, tambahnya, tidak boleh bertindak seperti pemadam kebakaran, yakni sesudah ramai di masyarakat baru sibuk. Tugas pemerintah adalah membuat masyarakat tenteram. "Buku-buku seperti ini sangat meresahkan dan berlawanan dengan agenda revolusi mental pemerintahan Jokowi-JK. Saya minta menteri atau lembaga yang terkait segera bertindak," tegasnya Kamis Kemarin.
Fahira mengatakan, masing-masing pihak dalam proses penerbitkan buku mulai dari penerbit, editor, hingga toko buku, punya saringan agar buku-buku bermasalah tidak lolos ke masyarakat, baik lewat toko buku maupun lewat internet (online).
Penerbit maupun toko buku seharusnya punya mekanisme, seleksi, dan "screening", sebelum mencetak atau memajang buku, tidak sekadar mengejar keuntungan tetapi mengorbankan sesuatu yang lebih besar.
"Saya juga minta IKAPI memberi sanksi kepada penerbit yang meloloskan buku dengan konten yang berpotensi merusak generasi muda. Perpustakaan nasional sebagai lembaga yang memberi ISBN juga saya minta lebih teliti. Buku-buku yang punya potensi merusak moral jangan diberi ISBN," ujar senator asal Jakarta ini.
Meskipun penulis buku "Saatnya Aku Belajar Pacaran" sudah meminta maaf dan menarik peredarannya, Fahira berencana menempuh jalur hukum karena isi buku itu sudah meresahkan masyarakat serta terlanjur beredar sejak 2010.
"Ini sebagai pembelajaran agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Kebebasan berpendapat boleh, tetapi harus bertanggung jawab. Saya juga minta penjualan buku ini via internet dihentikan," kata Fahira.