REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengaruh budaya barat dipandang semakin bebas menjerat remaja-remaja Indonesia. Termasuk didalamnya adopsi budaya perayaan hari kasih sayang atau hari valentine.
Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Tuty Alawiyah, mengatakan, kemudahan akses informasi tidak selamanya memberikan efek positif karena tidak semua anak-anak mengerti apa yang telah mereka dapatkan. Dalam hal valentine misalnya, mereka hanya mengetahui euforia perayaannya tanpa mengetahui apa dampaknya dan bagaimana asal usulnya.
"Akses informasi itu yang membuka lebar kesempatan remaja untuk terjerat budaya barat," jelasnya, saat dihubungi Republika Online, Jumat (6/2).
Ia menambahkan, efek negatif perayaan valentine semakin buruk ketika orang-orang dewasa turut menjerumuskan anak-anak ke dalam maksiat, seperti buku ajakan seks. Buku tersebut, entah kenapa baru diberitakan media tepat sebelum perayaan hari valentine. Selain itu, penjualan cokelat berhadiah kondom juga turut membuat prihatin. Pengusaha seperti ingin menjerumuskan generasi muda bangsanya sendiri.
"Sebagian orang memerangi valentine, tapi sebagian lagi justru ikut menyalahi norma," ujar Tuty. Tuty juga menyatakan, pintu jeratan budaya yang terbuka lebar membuat orang tua kewalahan. Pasalnya, saat ini orang tua pasti tidak dapat mengawasi anak-anaknya secara menyeluruh akibat kesibukan dalam pekerjaan.
"Keluarga pasti kebingungan, mereka sibuk bekerja sedangkan anaknya terjerat hal yang tidak baik karena jauh dari jangkauan," kata dia.
Pemerintah, tidak seharusnya menutup mata dengan isu kebebasan adopsi budaya barat yang mengancam masyarakat. Terlebih saat ini seluruh perhatian terfokus pada isu politik. "Sekarang pemerintah lebih fokus ke isu KPK-Polri sehingga ancaman valentine diabaikan," ungkapnya.