REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjuangan para pekerja film dalam menuntut perbaikan fasilitasi dan dukungan pemerintah terus dilakukan.
Pada Sabtu (7/2) sore, puluhan pekerja film melakukan aksi di lobby Gedung Sapta Pesona, Kantor Kementerian Pariwisata. Mereka membacakan surat terbuka yang ditujukan kepada Menteri Pariwisata Arief Yahya dan Presiden Joko Widodo terkait skandal Berlinale.
Hadir dalam aksi tersebut sejumlah nama besar di industri film tanah air, seperti Nia Dinata, Joko Anwar, Ody C Harahap, Robby Ertanto, Titien Watimena, John de Rantau, Aming, Rio Dewanto, Atiqah Hasiholan, Lukman Sardi, Ayu Sita dan lainnya.
Secara bergantian mereka membacakan surat yang telah ditandatangani oleh lebih dari 200 pekerja film tanah air.
Sutradara yang juga produser Nia Dinata menjadi yang pertama membacakan surat tersebut. Ia menjelaskan awal mula skandal Berlinale itu terungkap.
Dikatakan Nia, pada hari Selasa, 3 Februari 2015, publik Indonesia dikejutkan dengan terungkapnya di sosial media surat permohonan izin ke luar negeri bernomor KP.1011/2/24/SEKJEN/KEM-PAR/2015 yang dilayangkan Kementerian Pariwisata lewat Direktur Pengembangan Industri Perfilman.
Pada surat itu, Kementerian Pariwisata mengajukan nama-nama yang akan diberangkatkan ke Festival Film Berlin yang digelar pada tanggal 5-15 Februari 2015 untuk ikut ambil bagian dalam mempromosikan film Indonesia di European Film Market yang merupakan bagian dari Festival Film Berlin.
"Namun nama-nama yang diutus untuk mewakili insan perfilman Indonesia sangat diragukan kapabilitas dan kredibilitasnya serta tidak memiliki relevansi dan urgensi untuk diberangkatkan oleh pemerintah. Bahkan sebagian besar tidak dikenal oleh para pelaku industri perfilman di Indonesia," ucap Nia Dinata.
Pada saat yang bersamaan, beberapa pembuat film dan aktor Indonesia yang lolos seleksi untuk menayangkan film mereka di Festival Film Berlin dan mengikuti kegiatan pelatihan Berlinale Talent Campus tidak mendapatkan dukungan dana keberangkatan dari pemerintah sekalipun mereka telah mengajukan permohonan bantuan.
"Padahal jelas-jelas mereka adalah orang-orang berprestasi yang membawa nama baik negara di kancah perfilman internasional," tegas Nia.
Pada awalnya, Kementerian Pariwisata lewat para pejabat mereka yaitu Drs. Ukus Kuswara (Sekretaris Jenderal Kementerian Pariwisata), Armein Firmansyah (Direktur Pengembangan Industri Perfilman), serta Prof. Dr. HM. Ahman Sya (Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya) berkilah mengatakan bahwa nama-nama yang terungkap di surat dinas yang bocor ke publik hanya merupakan pengajuan dan belum tentu diberangkatkan.
"Tapi kemudian terbukti bahwa nama-nama tersebut telah didaftarkan ke European Film Market pada Festival Film Berlin dan sudah tercantum di situs resmi ajang tersebut," kata Nia lagi.
Pada tanggal 4 Februari 2015, para sineas dan aktor film Indonesia berkumpul di Gedung Film untuk mengadakan pernyataan sikap menuntut pertanggungjawaban pemerintah berkenaan dengan perjalanan delegasi Indonesia ke Berlin ini yang dinilai sangat tidak transparan, penuh manipulasi, dan pemborosan serta berpeluang sangat besar dalam penyalahgunaan uang rakyat.
Pada acara tersebut juga hadir Armein Firmansyah (Direktur Pengembangan Industri Perfilman) yang akhirnya mengaku khilaf dan mengaku bahwa delegasi Indonesia ke Berlin telah dibatalkan dan uang negara yang sudah dikeluarkan akan dikembalikan.
"Tentu saja ini bukan penyelesaian yang bertanggung jawab. Bukti-bukti yang kemudian terungkap menujukkan bahwa hal ini telah terjadi selama bertahun-tahun," ujarnya.
Kejadian yang dimaksud termasuk pada waktu perjalanan dinas delegasi Indonesia ke pasar program televisi MIPCOM di Cannes, Perancis, tahun 2014 lewat surat dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bernomor KP.1011/21/17/Sekjen/KPEK/2014. Kasusnya kurang lebih sama, yaitu pemberangkatan orang-orang yang tidak memiliki urgensi dan relevansi untuk berada di ajang festival maupun pasar film dan televisi serta potensi penyalahgunaan uang negara sejumlah milyaran rupiah.
Sekalipun saat itu perfilman masih dipegang oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, namun para pejabat yang memegang perfilman dan ekonomi kreatif masih sama dengan para pejabat di Kementerian Pariwisata sekarang ini.
Keikutsertaan para sineas Indonesia di festival-festival internasional dan pasar film adalah upaya untuk menyelesaikan beberapa masalah yang sedang dihadapi perfilman Indonesia saat ini, termasuk kurangnya skill pekerja film Indonesia dan kepentingan promosi untuk film-film Indonesia.
"Sayangnya, selama ini upaya-upaya tersebut telah disabotase oleh oknum-oknum pejabat yang seharusnya memajukan perfilman Indonesia, bukan melemahkannya," ujar Nia Dinata yang disambut pekikan para pekerja film.