REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan pekerja film Indonesia melakukan aksi di lobby Gedung Sapta Pesona, Kantor Kementerian Pariwisata Jalan Medan Merdekat Barat No. 17, Sabtu (7/2).
Mereka menyampaikan surat terbuka untuk Menteri Pariwisata Arief Yahya terkait fasilitasi serta dukungan pemerintah terhadap pekerja film yang mereka nilai tidak tepat sasaran.
Salah satunya adalah skandal Berlinale yang terungkap beberapa waktu lalu. Bahwa diketahui orang-orang yang dipilih Kementerian Pariwisata untuk diberangkatkan tidak memiliki kredibilitas di bidang perfilman.
Terkait hal tersebut, dalam surat terbukanya para pekerja perfilman Indonesia menuntut para pejabat yang terkait dengan skandal itu mengundurkan diri.
Ody C Harahap, salah seorang sutradara tanah air dalam aksinya mengatakan, pada tanggal 6 Februari 2015, Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Prof. Dr. HM. Ahman Sya, menyatakan bahwa Direktur Pengembangan Industri Perfilman, Armein Firmansyah, telah dicopot dari jabatannya.
Armein Firmansyah merupakan ketua rombongan yang dijadwalkan berangkat ke Berlin pada tanggal 4 Februari 2015 lalu.
"Namun, kami para pekerja film Indonesia menyatakan bahwa pencopotan jabatan tersebut bukanlah penyelesaian yang tuntas dari masalah yang selama ini menggerogoti pemerintah dalam memajukan perfilman Indonesia," kata dia.
Ody menuntut agar para pejabat terkait lainnya ikut bertanggung jawab secara ksatria dengan mundur dari jabatan mereka dan untuk tidak di kemudian hari menerima jabatan di sektor ekonomi kreatif.
"Mereka adalah Drs. Ukus Kuswara (Sekretaris Jendral Kementrian Pariwisata, Kementrian Pariwisata) dan Prof. Dr. HM. Ahman Sya (Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya)," kata dia yang disambut teriakan para peserta aksi.
Sementara Robby Ertanto yang juga anggota dari Badan Perfilman Indonesia juga menuntut pihak berwenang untuk mengusut kemungkinan penyalahgunaan uang negara untuk kegiatan-kegiatan serupa pada tahun-tahun sebelumnya, dan pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perfilman Indonesia termasuk penyelenggaraan Festival Film Indonesia.
"Kami mendesak agar uang rakyat yang dikelola pemerintah untuk membangun perfilman Indonesia ditata secara profesional, bersih dari segala kepentingan pribadi, dan transparan," ungkapnya.