REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Poll Tracking Institute Hanta Yudha mengatakan, reshuffle atau perombakan kabinet merupakan hak prerogatif presiden Joko Widodo. Terutama digunakan untuk memperkuat kinerjanya.
Perombakan tersebut, lanjutnya, bertujuan untuk membantu Jokowi dalam menunaikan janji-janji kampanyenya untuk rakyat. Ia pun menyebutkan beberapa kriteria yang dapat digunakan Jokowi untuk mengganti dan memilih menteri jika akan melakukan reshuffle.
"Cari menteri yang basis evaluasinya, misalnya, satu adalah soal kapabilitas, kinerja, kedua loyalitas, ketiga akseptibilitas. Soal kinerja, kapabilitas, SBY dulu punya UKP4 yang mengukur kinerjanya, Jokowi pasti punya instrumen internal lain," kata Hanta di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (7/2).
Menurut Hanta, seorang menteri harus memiliki akseptibilitas publik, tidak ada masalah dan kontroversi serius serta mempunyai akseptibilitas elit dan profesionalisme. Untuk loyalitas, lanjutnya, sangat dibutuhkan agar menteri tidak mengalami dualisme dan hanya loyal pada presiden.
Hanta mengatakan, jika hal tersebut diperhatikan, maka akan semakin memperkokoh kabinet dan pemerintahan. "Tapi kalau menterinya tiga-tiganya bagus kemudian diganti bisa juga, karena itu hak prerogatif presiden. Tapi dalam logika publik itu tidak baik bagi seorang presiden," ujarnya.
Mengenai menteri yang dinilai sering menyebabkan distorsi informasi karena "melangkahi" presiden, Hanta mengatakan, Jokowi harus segera mengevaluasi menteri tersebut.
"Kalau tim komunikasi politik dan negosiasi politik tidak begitu canggih, yang salah tadi jadi keliru, nanti akan berimbas pada presiden. Jadi harus ada teguran, harus diperhatikan itu. Seharusnya kabinet memperkuat posisi presiden, tapi bisa juga sebaliknya memperlemah," jelasnya.