REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak ratusan tahun lalu, banjir selalu menimbulkan kerugian yang besar bagi Jakarta dan penghuninya. Salah satu banjir terbesar yang terjadi di Jakarta pada masa penjahan Belanda terjadi pada tahun 1872, banjir itu menyebabkan pintu air di depan daerah yang sekarang berdiri Masjid Istiqlal, jebol.
Arif Fiyanto, Team Leader Climate and Energy Unit Greenpeace Indonesia, menjelaskan Sungai Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk kala itu. Sehingga menyebabkan kawasan Monas dan Lapangan Banteng terendam banjir. Kerugiannya kala itupun cukup membuat para pengusaha di Jakarta terancam gulung tikar.
Seiring dengan waktu kerugian akibat banjir yang terjadi di Jakarta pun mengalami peningkatan, wilayah yang tergenang banjir pun mengalami perluasan, jika dulu hanya wilayah Utara dan Barat Jakarta saja yang mengalami banjir, maka saat ini hampir seluruh wilayah Jakarta tidak ada yang steril dari banjir. Termasuk di pusat bisnis Ibu Kota, sepanjang Bundaran HI, Sudirman-Thamrin dan sekitarnya.
Arif mengungkapkan, banjir besar yang terjadi pada tahun 2007 menggenangi 89 kelurahan yang ada di Jakarta dengan luas wilayah yang tergenang sekitar 454,8 km2, atau dapat dikatakan lebih dari 60% wilayah Jakarta terendam. Kerugian yang terjadi akibat salah satu banjir terbesar dalam sejarah Jakarta ini mencapai Rp 5,2 triliun, menewaskan 80 jiwa, dan memaksa sekitar 320.000 orang warga Jakarta mengungsi karena rumahnya tergenang atau bahkan tenggelam oleh banjir.
Banjir yang terjadi pada 2014, menggenangi 89 kelurahan yang ada di Jakarta, dengan luasan wilayah yang terpapar dampak sekitar 17,4% dari total wilayah Jakarta, dan sampai saat ini telah memakan korban jiwa sebanyak 11 orang. Kerugiannya pun mencapai lebih dari Rp 70 triliun.
"Banjir pada 2015 ini juga rata menggenangi sebagian wilayah vital Ibu Kota. Kerugian mencapai Rp 20 triliunan. Pemerintah bukan tanpa solusi dalam mengatasi masalah krusial ini. Namun, memang dibutuhkan waktu sedikit lama guna mengatasi masalah ini, untuk itu masyarakat diharapkan dapat membantu dan bersabar dalam bersama-sama mengatasi masalah ini," jelasnya saat dihubungi oleh Republika, Selasa (10/2).
Menurutnya, banjir yang berakibat kerugian pendapatan ekonomi ini juga merupakan 'Pekerjaan Rumah' bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga masyarakatnya. "Masih banyak yang membuang sampah sembarangan di kali, contoh sederhana dari kurangnya kesadaran masyarakat tersebutlah yang turut menyumbang banjir serta kerugian ekonomi tak hanya di Ibu Kota Jakarta, tapi juga di Negeri ini," katanya.
Berdasarkan kerugian banjir yang setiap tahunnya selalu meningkat ini, diharapkan kerugian ini bisa berkurang di tahun depan. "Kita tak dapat pungkiri, Ibu Kota diramalkan masih akan dihantui banjir hingga tahun depan. Memang sulit untuk mengatasinya, namun setidaknya kita bisa mengurangi dampak kerugian dari banjir tersebut dengan mengikuti dan membantu pemerintah daerah untuk menanggulangi banjir melalui program-program yang mereka canangkan," tutupnya.